SOROT 553

Tim Hukum Rasa Kopkamtib

Menko Polhukam Wiranto
Sumber :
  • Istimewa

VIVA –  Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto berdiri di belakang mimbar. Dia menggelar konferensi pers usai mengadakan rapat koordinasi terbatas tentang permasalahan hukum pascapemilu 2019.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Wiranto didampingi sejumlah menteri dan tokoh.  Di sisi kanan dan kiri, tampak  Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Prof Romli Atmasasmita. Ada juga Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, serta Wakil Kepala Polri  Komisaris Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto.

Hari itu, ada hal baru yang diumumkan dalam jumpa pers: pemerintah bakal membentuk tim asistensi hukum. Tim akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh yang diduga melanggar hukum.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Menko Polhukam Wiranto saat konferensi pers soal Tim Khusus

Menko Polhukam Wiranto mengumumkan pembentukan Tim Asistensi Hukum

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Seraya menggerakkan kedua tangannya, mantan panglima TNI itu menegaskan,  tim ini dibentuk agar mereka yang menyebarkan hasutan atau ujaran kebencian diberikan sanksi tegas. Termasuk, mereka yang memaki presiden sebagai kepala negara yang sah. “Itu sudah ada hukumnya, sanksinya dan kita akan melaksanakan itu,” ujar Wiranto di kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Senin, 6 Mei 2019.

Wiranto lantas menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamananan. SK diteken pada 8 Mei 2019. Sejumlah 24 orang menjadi  anggota tim yang melibatkan praktisi dan ahli hukum itu. Di antara mereka, terdapat pakar hukum Muladi, Romli Atmasasmita dan Mahfud MD. Tim akan bertugas mulai 8 Mei 2019 hingga 31 Oktober 2019.

Pembentukan tim ini sontak menimbulkan pro dan kontra. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, misalnya. Pembentukan tim dinilai tak masuk akal karena untuk merespons ucapan tokoh usai Pemilu 2019. Tim dikhawatirkan rawan disalahgunakan untuk membungkam kritik kepada pemerintah.

Dia menganggap, tim asistensi hukum mirip dengan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) saat rezim Orde Baru lalu. Sebab, tugas tim menilai ucapan pihak yang bertentangan dengan pemerintah. "Ini kayak Pangkopkamtib zamannya Soeharto," ujar Choirul, Jumat, 10 Mei 2019.

Saat ini, menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, tim belum sampai seperti Kopkamtib. Namun jika didiamkan, bisa sampai ke sana.

Ada beberapa kesamaan tim tersebut dengan Kopkamtib. Di antaranya, pola pembentukannya sama. Tim dibentuk tidak dengan undang-undang atau hanya berdasarkan SK menteri. Pembentukannya juga dianggap melampaui undang-undang.

Zaman pemerintahan Soeharto, Kopkamtib dibentuk sejak awal ia memimpin negeri ini di tahun 1965. Kopkamtib yang dipimpin seorang panglima bertanggung jawab langsung kepada presiden, dimana unsur di dalamnya terdapat organisasi militer dan non-militer. Kopkamtib pada masanya memiliki kekuasaan yang luas, bahkan disebut sebagai jantungnya Orde Baru.

Kopkamtib yang pernah dipimpin langsung Soeharto hingga Jenderal LB Moerdani ini bahkan dapat menggunakan seluruh aset dan personalia pemerintahan sipil demi mempertahankan pelaksanaan pembangunan yang digariskan pemerintah.

Sorot Orba Jilid Dua Suasana Rapat Polhukam Tentang Langkah Hukum Pasca Pemilu

Suasana rapat di Kemenko Polhukam terkait keamanan pasca Pemilu 

Namun, peneliti Amnesty Internasional, Aviva Nababan tak setuju jika tim ini disamakan dengan Kopkamtib era Orde Baru. Sebab, tim ini hanya memberikan rekomendasi kepada penegak hukum. Tim tidak memiliki kuasa penangkapan, penahanan, penyidikan dan penuntutan. “Ini berbeda jauh dengan Kopkamtib yang memiliki kewenangan yang luar biasa luasnya,” kata Aviva, Kamis, 16 Mei 2019.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Junimart Girsang pun sependapat bahwa tim ini tidak sama dengan Kopkamtib. Jika Kopkamtib berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Sedangkan tim asistensi hukum tidak.  Sifat tim asistensi hukum ini juga internal dan merangkul para tokoh.

Menurut Junimart, tim bukan bagian dari organ. Sifatnya sementara dan adhoc. Pembentukan tim asistensi itu dinilai tidak masalah sepanjang tidak menabrak hukum dan jalannya proses penegakan hukum. “Justru saya berharap mereka bisa menjadi mitra penegakan hukum,” ujarnya.

Penilaian senada diungkapkan Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani. Menurut dia, adanya tim hukum tersebut tak berarti kembalinya mesin otoriter. Ia juga melihat tim itu tak menggantikan tugas Bareskrim. "Jangan dilihat itu dikritisi sebagai sebuah pertanda kembalinya mesin otoriter dan lain sebagainya," kata Arsul.

Sisi positif pembentukan tim ini, lanjut dia,  untuk melakukan kajian secara keilmuan. Adapun kasusnya bisa diproses hukum. Keberadaan tim ini justru menjadi obyektif karena ada kajian dari ahli.

Wiranto pun menampik soal anggapan kembali ke Orde Baru. Tim ini bukan badan hukum nasional yang menggantikan lembaga hukum lain. Namun merupakan satu tim para pakar hukum untuk membantu Kemenko Polhukam.

Tim bertugas meneliti, mencerna dan mendefinisikan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum. Tim pun bakal  memberikan rekomendasi bila ada upaya pelanggaran hukum maka akan ditindak. "Ada yang mengatakan Pak Wiranto kembali ke Orde Baru, bukan,” ujar Wiranto.

Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais.

Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais

Beberapa hari usai dibentuk, tim mulai mengkaji aktivitas sejumlah tokoh. Salah satu tokoh yang disebut-sebut dikaji kegiatannya yaitu politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Akhir Maret lalu, Ketua Dewan Kehormatan PAN itu sempat mengungkapkan akan memilih jalur people power, ketimbang Mahkamah Konstitusi jika ada kecurangan Pemilu 2019. Amien menekankan ucapannya ini karena ingin pemilu yang adil, damai, jujur, dan terbuka.  

Soal aktivitasnya diduga dikaji tim asistensi hukum, Amien mengingatkan Wiranto untuk berhati-hati lantaran dengan kuasanya membidik lawan-lawan politiknya.  "Dengan kuasanya, dia akan membidik lawan-lawan politiknya. Di muka bumi ini, orang ngomong ditangkap itu enggak ada. Wiranto, hati-hati Anda," kata Amien, Selasa, 14 Mei 2019.

Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional atau BPN Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar
Simanjuntak mengkritik tim asistensi hukum itu. Tugas tim tersebut dianggap  melanggar hak berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum, yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.

“Itu lembaga yang melakukan makar pada konstitusi dasar kita, karena melanggar hak dasar warga negara, hak berserikat, hak berpendapat," kata Dahnil.

Batasi Ekspresi

Kehadiran tim asistensi hukum, menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati,  bisa menimbulkan berbagai dampak. Di antaranya menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat dan berekspresi.   

Ketua Umum YLBHI Asfinawati

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM/ Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara sependapat.  Tim asistensi hukum itu berpotensi untuk membatasi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat. “Ini juga bertentangan dengan reformasi yang sudah kita perjuangkan bersama dari ‘98 sampai sekarang,” ujarnya.

Dia memandang pembentukan tim asistensi hukum  tidak perlu. Sebab, sudah ada  aparat Kepolisian dan penegak hukum lainnya yang memantau tindakan atau ucapan  warga negara, yang dinilai bertentangan dengan undang-undang berlaku.

Segendang sepenarian. Peneliti Amnesty Internasional, Aviva Nababan menyarankan, sebaiknya pemerintah mengurungkan pembuatan tim ini. Apalagi karena pembuatannya diumumkan, sehingga terkesan bertujuan untuk mengawasi tokoh-tokoh yang aktif mengkritik pemerintah selama masa pascapemilu.  “Jadi adanya diumumkannya tim ini seperti menambahkan chilling effect kepada kebebasan berpendapat di Indonesia,” ujarnya.

Pengumuman pembentukan tim ini, semakin menggarisbawahi pendekatan penggunaan hukum pidana yang berlebihan dalam menghadapi permasalahan. Padahal, pendekatan semacam ini dapat memicu pelanggaran HAM dan malah menimbulkan masalah yang lain, misalnya over kapasitas di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

Penegakan hukum, kata Didik Mukrianto, anggota Komisi III Fraksi Demokrat, harus sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku. Penegakannya juga harus fair, jujur dan adil serta jauh dari kesewenang-wenangan.

Sebab, hubungan negara dengan warganya dalam penegakan hukum adalah seimbang. Hal itu seperti tertuang dalam  semangat amandemen UUD 45 dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Ini pula makna dari due process of law, artinya proses penegakan hukum yang benar dan adil. Bukan atas dasar stigma apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah,” ujarnya.

Baca Juga

Jerat Pasal Makar

Kopkamtib, Cara Orba Bungkam Suara Berbeda

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya