SOROT 538

Etnis Tionghoa, Menanti di Pinggiran

Suasana ibadah warga Tionghoa di Klenteng Tjen Lin Kong atau Poncowinatan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita

VIVA – Jalan Suryakencana mulai memerah. Dari kejauhan, lampion gantung berwarna merah yang dipasang di depan beberapa toko dan rumah bergoyang-goyang tertiup angin. Mencuri perhatian siapa saja yang sedang melintas di salah satu jalan utama di Kota Bogor yang selalu ramai itu.

5 Negara ASEAN dengan Populasi Etnis Tionghoa Terbanyak

Tak hanya bertabur lampion warna merah, Jalan Suryakencana juga banyak terdapat kue keranjang beragam ukuran dengan kemasan daun pisang hingga kotak bermotif. Juga aneka manisan buah dan permen, kue kering, lembaran angpau hingga lilin berwarna merah dari ukuran mungil hingga setinggi 80cm tersedia. Aroma Imlek, atau perayaan tahun baru bagi etnis Tionghoa, yang jatuh pada 5 Februari 2019 kali ini sudah begitu kuat.  Kawasan di jantung Kota Bogor itu memang terkenal sebagai China Town atau Pecinan.

Lokasi Jalan Suryakencana persis berhadapan dengan pintu masuk utama Kebun Raya Bogor. Jalan ini adalah jalan satu arah yang jika ditelusuri bisa tembus menuju Tajur dan Batu Tulis. Di jalan ini juga ada pasar tradisional, pasar Bogor. Pasarnya luas, dan hidup nyaris sepanjang hari. Tengah malam hingga subuh adalah pasar pemasok buah dan sayuran. Lepas subuh hingga sore hari giliran pedagang eceran.

Jarang Diketahui, 3 Peran Penting Etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda

Jika disusuri, di kiri kanan jalan dipenuhi toko dengan aneka barang dagangan. Ada toko pakaian, perabot rumah tangga, swalayan, toko alat tulis, kosmetik dan parfum, furniture, hingga penjual makanan khas bogor seperti soto kuning, toge goreng, talas kukus, soto mie, hingga kue basah tradisional. Beberapa toko dan warung makan yang ada di sana telah berjualan sejak tahun 1960an.

Vihara Dhanagun (Ayatullah Humaeni | Bogor)

Bukan Cina, Pakar Tegaskan Etnis Tionghoa Bagian dari Budaya Indonesia

Vihara Dhanagun di Bogor

Di pintu masuk utama jalan Suryakencana berdiri kokoh sebuah kelenteng bernama Hok Tek Bio. Kelenteng ini dibangun sejak tahun 1872, atau sejak sekitar dua abad lalu. Warga Tionghoa membangun kelenteng ini untuk kepentingan ibadah mereka.

Dikutip dari tionghoainfo.com, awalnya, luasnya hanya 180m2. Tapi kemudian terus diperluas hingga seperti sekarang. Kini luas lahannya sudah mencapai 1.397m2, sedangkan luas bangunannya 635,50m2. Di masa Orde Baru, klenteng ini mengalami tekanan hingga akhirnya namanya diganti menjadi vihara Dhanagun agar keberadaannya tak digusur.

Setiap tahun, klenteng Hok Tek Bio dan jalan Suryakencana menjadi pusat perayaan Cap Go Meh, perayaan yang diadakan sekitar dua pekan setelah Imlek, di kota Bogor. Aneka atraksi budaya termasuk Liong Barongsai dipertontonkan. Perayaan dilakukan di sepanjang jalan yang juga beken dengan sebutan “Jalur Naga” itu.

Perayaan Cap Go Meh di Bogor rutin diadakan setiap tahun. Acara ini diberi nama “Pesta Rakyat Cap Go Meh,” dan biasanya dipadati pengunjung yang bisa mencapai 100.000 orang.

Kebencian Rasial, Petaka Tak Berujung

Perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang meriah tak hanya terjadi di Bogor. Dua wilayah lain yang juga merayakannya dengan meriah adalah Glodok, Jakarta Barat, dan Singkawang, Kalimantan Barat. Tiga wilayah ini memang memiliki jumlah etnis Tionghoa lebih besar dari wilayah lainnya.

Bagi kelompok Tionghoa, keterbukaan adalah hal yang mahal. Selama puluhan tahun gerak mereka dibatasi. Meski orang dari Tiongkok pertama sudah datang ke Indonesia pada abad ke-4 Masehi, penerimaan dan pembauran dengan penduduk negeri ini tak berlangsung mulus.

Abad ke-9, bisa disebut sebagai awal kedatangan orang Tiongkok dalam jumlah besar ke Indonesia. Mereka menggunakan Jalur Sutera Maritim atau Nanhai/Nanyang. Mereka berdatangan ke Pulau Jawa untuk berdagang dan sebagian menetap di Pulau Jawa.

Tapi tonggak kehadiran etnis Tionghoa di negeri ini baru bergaung setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Samudera Pasai. Apalagi Cheng Ho kemudian datang ke Palembang dan Pulau Jawa, dan ikut menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Patung Laksamana Cheng Ho.

Patung Laksamana Cheng Ho

Proses pembauran dan asimilasi etnis Tionghoa dengan warga di Pulau Jawa saat itu  terbilang aman. Tapi di abad ke-17, masa penjajahan Belanda adalah awal kehidupan tak tenang mereka di negeri ini. Belanda khawatir tak mampu menguasai Hindia Belanda karena warga setempat lebih menerima etnis Tionghoa. Akibatnya, Belanda memburu mereka besar-besaran, menangkapi dan membantai mereka.

Sejak itu, etnis Tionghoa tak pernah hidup tenang. Dikutip dari historia.id, abad 18, giliran etnis Tionghoa di Ngawi yang diburu dan diperangi. Putri Sri Sultan Hamengkubuwono menyerbu kota Ngawi, kota di tepian Bengawan Solo yang dihuni mayoritas etnis Tionghoa.

Pembantaian keji yang menewaskan anak dan perempuan terjadi di wilayah tersebut. Penyebabnya adalah kebencian karena banyaknya etnis Tionghoa yang menjadi bandar pajak sehingga dianggap memeras warga.

Abad 19, peristiwa berbasis ras terhadap etnis Tionghoa juga berlanjut. Sejumlah kerusuhan pecah, diantaranya di Solo pada 1912, Kudus tahun 1918, Tangerang tahun 1946, Bagan Siapi-api tahun 1946 dan Palembang tahun 1947. Setelah itu, tahun 1950an giliran Orde Lama yang membatasi gerak mereka.

Diskriminasi dan sentimen rasial terhadap etnis Tionghoa meruncing ketika pecah G30S/PKI pada tahun 1965. Etnis Tionghoa makin dibenci karena dianggap sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah RRC yang sedang gencar mengembangkan sayap komunisme pasca-PD II.

Pemerintahan Soeharto lalu mengungkung mereka dengan Inpres no. 14 tahun 67, yang membuat mereka hanya boleh merayakan Cap Go Meh atau perayaan dan adat istiadat lainnya  hanya di lingkungan keluarga atau di halaman kelenteng. Inpres itu juga membatasi penggunaan nama-nama Tionghoa dan bahasa Mandarin, juga menutup sekolah-sekolah untuk etnis Tionghoa yang sempat tersebar di banyak wilayah di Indonesia.

sorot imlek tionghoa budaya china

Pernak pernik Imlek mulai dijual warga

Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, hanya segelintir etnis Tionghoa yang berhasil menikmati kehidupan sangat layak, bahkan hingga menjelma menjadi konglomerat baru. Sebagian besar lainnya, hidup berdampingan dan membaur dengan masyarakat. Namun ternyata kondisi itu seperti api dalam sekam.

Puncaknya adalah ketika desakan melengserkan Soeharto semakin tak terbendung, etnis Tionghoa kembali menelan pil pahit karena menjadi sasaran kemarahan. Toko mereka dijarah dan dibakar, rumah, ruko dan kendaraan mereka juga dibakar, bahkan perempuan beretnis Tionghoa juga menjadi korban pemerkosaan.

Perburuan yang gencar terhadap etnis Tionghoa membuat mereka melarikan diri ke berbagai wilayah, dan akhirnya hidup bersama dengan sesama etnis Tionghoa. Keberadaan “Cina Benteng” di Tangerang berawal dari perburuan pemerintah Hindia Belanda terhadap mereka di wilayah Glodok dan Beos. Sebagian besar etnis Tionghoa juga lari ke Singkawang ketika pecah kerusuhan yang berdampak buruk pada mereka di Pontianak.

Keterkungkungan mereka mulai lepas ketika pemerintahan Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967. Etnis Tionghoa kembali menghirup kebebasan untuk merayakan secara terbuka tradisi-tradisi dari budaya mereka, termasuk perayaan Cap Go Meh yang meriah, juga pertunjukan Liong Barongsai secara terbuka.

Langkah Presiden Gus Dur kemudian diikuti oleh Presiden Megawati yang mengeluarkan Keppres No. 19 Tahun 2002 yang menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Lalu Presiden SBY yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera nomor 6 tahun 1967, yang dilanjut dengan mengeluarkan Keppres nomor 12 tahun 2014, yang isinya mengganti istilah Tjina/China/Cina dengan Tionghoa, dan menganti Republik Rakyat China menjadi Republik Rakyat Tiongkok.  

Upaya ketiga presiden ini membuat Imlek, Cap Go Meh, dan aneka tradisi atau adat istiadat keturunan etnis Tionghoa kembali bebas dilakukan secara terbuka.

Peneliti Tionghoa sekaligus pengamat Pecinan Nusantara dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Agni Malagina mengatakan, pembatasan perayaan Imlek memang terjadi di masa Orde Baru, tapi sejak zaman Orde Lama, tahun 1953 juga sudah pernah dikeluarkan aturan yang melarang perayaan Imlek. Akibatnya, perayaan Imlek menghilang dari pandangan dan pengetahuan publik.

Menurut Agni, diskriminasi pada kelompok Tionghoa yang dilakukan oleh pemerintah sudah terjadi sejak masa Hindia Belanda. Sedangkan di masa Orla dan Orba perlakukan diskriminatif juga dilakukan, mulai dari kejadian yang bersifat ‘politis’ hingga Keppres yang mendiskriminasi mereka. Agni tak bisa memperkirakan mengapa pemerintah mendiskriminasi kelompok Tionghoa.

“Saya kira perlakuan diskriminasi keluar dari persepsi kita di luar pemerintah, tak pernah terungkap juga mengapa pemerintah mendiskriminasinya. Tapi perlakukan diskriminatif ini tak hanya terjadi pada etnis Tionghoa. Kelompok minoritas di Indonesia juga mengalaminya. Misal kelompok agama, suku, bahkan gender. Untuk Tionghoa, pemerintah tentu ada alasan politis yang berlarut-larut dan kemudian mengakar,” ujar Agni kepada VIVA.

Peneliti Tionghoa/Pengamat Pecinan Nusantara FIB UI, Agni Malagina

Peneliti Tionghoa sekaligus pengamat Pecinan Nusantara dari FIB Universitas Indonesia, Agni Malagina

Menurut Agni, yang kerap melakukan penelitian dan mengamati ketika berkunjung ke daerah, sentimen anti-China di Indonesia tumbuh karena faktor politik yang “digoreng.” Lalu ada juga faktor kesenjangan ekonomi, faktor sejarah (termasuk dendam masa lalu), faktor kebuntuan komunikasi.

“Faktor kebuntuan komunikasi ini terjadi karena tempat tinggal yang terkonsentrasi dan atau individual, jadi rentan terjadinya miskomunikasi dan menyebabkan konflik,” tuturnya.

Dipuji dan Dimusuhi

Kerap diburu sejak masa lalu, tak semua etnis Tionghoa memusuhi negeri ini. Sebagian besar dari mereka tak lagi merasa bahwa mereka adalah etnis Tionghoa. Mereka lahir, besar, dan tumbuh di negeri ini. Sebagian malah membangun bisnis, sejak susah hingga akhirnya berhasil meraksasa.

Bagi Dwiatmoko Setiono atau Siem Eng Tiong, pemilik perusahaan PT Sekawan Karsa Mulia yang memproduksi minuman coklat bermerk Dynakat, Indonesia adalah kehidupannya. Ia lahir di Surabaya, pernah hidup susah hingga akhirnya memiliki pabrik pengolahan coklat dan terus berkembang. Di usianya yang sudah masuk 60 tahun, Papi Dwi, begitu ia disapa dengan yakin mengatakan, Indonesia adalah tanah airnya.

Papi Dwi adalah etnis Tionghoa yang sukses dalam bidang industri. Ia mungkin belum sejajar dengan Ciputra atau nama besar lain. Tapi setidaknya, ia memberi kontribusi dengan pabrik besar yang memiliki ribuan karyawan. Sejak dulu, etnis Tionghoa menyumbang tokoh-tokoh penting untuk tanah air. Mereka tersebar di berbagai bidang, dari ekonomi, olah raga, politik, hak asasi manusia, hakim, hingga media massa.

Tokoh pergerakan di negeri ini pasti akrab dengan nama Soe Hok Gie dan Yap Thiam Hien. Soe Hok Gie adalah anak muda beretnis Tionghoa yang kuliah di Universitas Indonesia dan konsisten mengkritisi pemerintahan Soekarno dan Soeharto melalui tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Sedangkan Yap Thiam Hien adalah pengacara pembela HAM.

Untuk bidang olahraga, lebih banyak lagi yang bisa disebut, terutama bidang bulutangkis. Rudi Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti dan suaminya Alan Budi Kusuma, Christian Hadinata, Hastomo Arbi, dan lainnya.

Di masa lalu, ada Kho Ping Ho yang terkenal dengan komik cerita silat. Lalu ada PK Ojong, yang ikut mendirikan harian KOMPAS bersama Jacob Oetama. Sekarang ada Kwik Kian Gie, ekonom senior yang diakui seluruh bangsa ini. Dan teranyar ada Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur DKI yang baru keluar dari tahanan. Basuki alias Ahok terkenal dengan keteguhannya dan menolak kompromi dengan koruptor.

Agni juga mengakui etnis Tionghoa kerap di-framing dengan dunia ekonomi, padahal mereka ada di berbagai bidang. “Selama ini etnis Tionghoa sering di-frame dengan profesi di bidang ekonomi, tapi mereka juga ada di cabang olah raga dan seni budaya,” ujar Agni.

Dari budaya, Agni merujuk ke Didi Nini Thowok, seorang etnis Tionghoa yang sangat dekat dengan kesenian Jawa. Prestasi mereka dan nama besar mereka menuai pujian. Pada kondisi itu, asal muasal mereka sebagai etnis Tionghoa seolah dilupakan. Mereka adalah bagian dari negeri ini.

Didik Nini Thowok

Seniman Didik Nini Thowok

Agni menolak bahwa mereka berkembang karena mendapat fasilitas. Sejak zaman Belanda, tutur Agni, hanya segelintir dari etnis Tionghoa yang diajak bekerja sama dengan Belanda. Tak ada yang mendapat perlakukan istimewa. “Saya meneliti koran-koran Melayu Tionghoa, mayoritas dari mereka justru melawan Belanda. Mereka mayoritas nasionalis,” ujar Agni.

Dosen Universitas Indonesia ini mengklasifikasi tiga kelompok mainstream di kalangan etnis Tionghoa, yaitu kelompok pro Belanda, kelompok pro Tiongkok, dan kelompok nasionalis Indonesia. “Yang mendapat keistimewaan hanya yang masuk Kristen karena otomatis haknya disamakan dengan bangsa Eropa dan Jepang yang masuk Kristen. Itu juga tidak semua diistimewakan, ada juga yang sudah masuk Kristen masih tetap didiskriminasi,” ujarnya menjelaskan.

Merasuknya etnis Tionghoa juga terasa dalam dunia kuliner dan bahasa. Agni menunjuk mie, bakso, siomay, capcay, sebagai makanan yang awalnya adalah dari etnis Tionghoa dan kini sangat cair dalam keseharian masyarakat negeri ini.

“Untuk bahasa kata serapan di KBBI dari bahasa dialek Hokkian juga banyak, misalnya gopek, loteng, bangsat, kecap, bakiak, dan lain lain,” katanya.

Etnis Tionghoa sudah berabad-abad ada di negeri ini. Keberadaan mereka harusnya sudah tak bisa lagi dianggap sebagai pendatang. Faktanya, banyak diantara mereka yang lahir, beranak pinak, bahkan menjadi turunan ke sekian dari leluhurnya.

Mereka sudah mulai putus akar dari negeri asalnya, dan tetap setia pada negeri ini. Tapi keberadaan mereka kerap dipinggirkan. Mereka tertolak, dan dianggap sebagai orang asing, pendatang, dan bukan bagian dari negeri ini. Lalu digunakan sebagai alat politik untuk menimbulkan sentimen iri hati, bahkan kebencian.

Mereka mungkin rindu, merasa memiliki Tanah Air ini, tapi tak pernah bisa menjadi bagiannya. Mereka seperti berada di tengah negeri ini, tapi mungkin sebenarnya hanya menanti di pinggiran. Entah sampai kapan. (ren)

Baca Juga

Jejak Tionghoa di Indonesia

Dari Pedagang hingga Raja Gula

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya