Persekusi Bukan Tindakan Agamais

Pelaku persekusi saat diumumkan oleh polisi beberapa waktu lalu
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Kita dihebohkan dengan pemberitaan tentang adanya persekusi yang dilakukan oleh sejumlah orang yang mengatas namakan Front Pembela Islam (FPI). Sebagaimana yang dirilis oleh VIVA.co.id tanggal 2 Juni 2017, yang diberi Judul "Korban Persekusi Diduga Dianiaya Sebelum Video Direkam".

Warga Permata Buana Korban Persekusi Akui Dapat Permufakatan Diskriminasi

Berita tentang persekusi ini sebelumnya viral di media sosial. Di mana ada sejumlah warga yang mengatas namakan FPI sedang melakukan tindakan yang tidak patut dilakukan seorang dewasa kepada anak di bawah umur yang kemudian diketahui berinisial PMA. Sejujurnya, penulis tentu menaruh perhatian pada kata persekusi. Karena kata ini bukan saja jarang saya dengar, tapi ternyata banyak juga teman penulis yang bertanya mengenai pemaknaan kata ini.

Akhirnya saya mencoba mencari tahu kenapa sampai peristiwa ini masuk dalam kategori persekusi. Yang saya temui dari pemaknaan persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga. Nah, dari pemaknaan persekusi tersebut yang secara gamblang menyebutkan "sewenang-wenang" seperti penjelasan di atas, maka penulis sampai pada satu kesimpulan sederhana kalau kejadian ini merupakan pelanggaran hukum dan tidak agamais.

PDIP Kini Bela Bacaleg yang Dituduh Setubuhi Anak Kandung di Lombok Barat

Tentunya Anda bertanya-tanya, kenapa membawa kata agamais. Menurut saya, pelaku yang membawa simbol FPI dalam tindakannya itulah yang menjadi pijakan bagi penulis untuk menyeret kata "agamais" dalam kesimpulan saya.

Kejadian ini sampai membuat saya takut berkesimpulan salah dan bernasib sama dengan bocah yang menjadi korban dalam kasus ini. Pasalnya, akhir-akhir ini kita tak boleh berbeda pendapat. Jika kita berbeda pendapat, bisa jadi kita akan diberi hadiah materai 6.000 oleh sekelompok organisasi. Sampai-sampai penulis sempat berpikir, apa sih bedanya kritikan dan penghinaan?

Lima Tersangka Persekusi Pemandu Karaoke Ditangkap, Pria yang Menelanjangi Masih Buron

Kenapa kita harus takut jika berbeda pendapat? Jawabannya sederhana saja, yaitu karena tidak hadirnya negara dalam melindungi kebebasan berpendapat. Kebebasan mengeluarkan pendapat dijamin penuh oleh UUD, tetapi apa gunanya pula kebebasan berpendapat ini jika tidak dibarengi dengan perlindungan negara di dalamnya.

Ibaratnya, seperti negara menjamin kita untuk menutup mata tetapi tak ada jaminan Anda bakal tidur pulas. Ketika mata tertutup, maka Anda dibiarkan. Namun ketika Anda nyenyak, Anda akan dibangunkan. Sebenarnya, di sinilah kehadiran negara penting untuk menjamin warga negaranya. Bukan malah mengolah isu persekusi ini dalam bentuk menakut-menakuti masyarakat.

Ketika ada perbedaan pendapat yang diiringi dengan kritikan, maka di situlah seninya berdemokrasi. Tetapi patut diingat, bahwa kritikan boleh saja namun jangan melanggar prinsip-prinsip etika. Di sisi lain, pihak yang merasa dikritik sebaiknya pula membuka diri dengan melihat dan membedakan mana kritikan dan mana penghinaan.

Akhir-akhir ini banyak penghuni bangsa ini gampang tersinggung dan malah cenderung baper dengan kritikan. Kritikan itu batu loncatan untuk kita berbenah. Misalkan saja, jika ada sebagian kalangan meminta Rizieq untuk pulang, ya itu sebuah kewajaran di tengah desas-desus kasus yang saat ini sedang panas di belahan bumi nusantara ini. Jika ada pula yang mengatakan, "Rizieq tak bernyali", itu juga kewajaran. Sebab sampai saat ini Rizieq tak kunjung pulang ke tanah air.

Munculnya berbagai kritikan ini intinya ada pada Rizieq yang tak pulang-pulang. Mohon kiranya juga tulisan ini tidak membawa penulis untuk menandatangani materai 6.000. Fenomena materai 6.000 akhir-akhir ini cenderung lekat pada persoalan penghinaan. Atau bisa pula dalam pandangan lain, penulis melihat fenomena materai 6.000 melekat pada kaum anti kritik. Segala sesuatu yang sifatnya mengkritik maka dianggap sebuah penghinaan.

Singkat cerita, penulis hanya ingin menegaskan bahwa siapapun dia, agama apapun dia, warna kulit apapun dia wajib patuh pada hukum yang berlaku di negeri ini. Dan kebodohan yang hakiki itu ada pada kesewenang-wenangan itu sendiri. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya