Kehidupan Pengrajin Bata Merah di Desa Transat Kalimantan

Pengrajin bata merah di Desa Transat Kalimantan.
Sumber :

VIVA.co.id – Teknologi kini semakin berkembang. Namun perkembangan teknologi ternyata tidak selalu menguntungkan bagi beberapa kalangan. Karena selalu ada yang tersingkirkan dan terlindas dari awal kemunculannya. Seperti para pengrajin bata merah tradisional di Desa Transat, Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Viral Alquran Dilempar Petugas saat Eksekusi Rumah Yatim Piatu

Awalnya usaha bata merah tersebut menjadi primadona bagi warga Kalimantan Tengah. Hingga banyak sekali industri rumahan yang didirikan dengan merekrut buruh yang banyak. Baik itu warga sekitar maupun pendatang. Namun sayang, sejak adanya kiriman batako dari Jawa yang lebih murah dan bata ringan yang lebih praktis, mengakibatkan popularitas bata merah yang dibuat dengan teknologi tradisional tersebut harus turun pamor.

Tak sedikit pabrik-pabrik kecil itu gulung tikar, walaupun masih ada sebagian yang mempertahankan usahanya. Dan tetap mempertahankan buruhnya tapi diberi upah tak sepadan dengan kerasnya mereka bekerja. Dan sebagian yang kecil tersebutlah yang akhirnya termarjinalkan.

Pergilah Dinda Cintaku

Tak ada jalan lain dan tak ada keahlian lain yang bisa dilakukan selain membuat bata merah. Mulai dari menggali tanah, menginjak-injak tanah tersebut sampai lembut dan bisa dibentuk, membawanya ke atas hingga dicetak dengan cara tradisional. Dijemur hingga beberapa hari dan baru disimpan di pabrik untuk dibakar. Semuanya dilakukan sendiri, terkandang dibantu oleh anggota keluarga.

Meski berpenghasilan sedikit, namun terus digeluti dan terus dijalani agar bisa menyambung kehidupan. Ada Mujinah dan suaminya, Agus Sumarno yang sebatang kara. Tinggal di pabrik, dan seringkali tidur di atas tumpukan bata. Ada juga Hendra Budiman dan Ahmad yang merangkap sebagai guru mengaji. Sebagai pengrajin bata, penghasilan memang tak seberapa. Maka tak heran Mujinah dan suaminya harus menumpang tinggal di tanah milik bosnya. Mendirikan gubuk kecil untuk melindungi anak-anaknya dari panas dan hujan.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Sungguh ironis. Mereka yang sehari-harinya mencetak bata merah namun rumah yang mereka hanya terbuat dari kayu. Itupun kayu sisa produksi atau kayu bekas mencetak bata. Bahkan rumahnya tanpa dialasi tegel, hanya tanah sebagai lantainya. Rumah itu tidak terlihat seperti rumah. Bahkan tak ditemukan WC dan air besih.

Untuk menuju tempat air, dia pun harus mengambil air di bekas galian yang sudah membentuk sumur besar. Itupun tatkala ada hujan. Jika musim kemarau terpaksa harus menumpang ke tetangga. Namun dia masih tetap bersyukur karena bosnya masih membolehkannya tinggal. “Yang penting teduh,” papar Mujinah.

Di rumah kecil yang bersebelahan dengan pabrik bata itu, dia hidup bersama keenam anaknya yang masih kecil-kecil. Anak pertamanya duduk di kelas 5 SD, dan anak bungsunya baru berusia tiga tahun. Meski memiliki anak batita, ibu yang ramah ini pun turut membantu perekonomian keluarga dengan membantu mencetak tanah liat menjadi bata.

Tak hanya pengrajin bata merah saja, Rumah Yatim Arrohman Indonesia cabang Banjar Baru, yang berada di Jl. Ahmad Yani km. 34 No. 43 Banjar Baru, Kalimantan Selatan pun memberikan perhatiannya dalam program pemberdayaan santunan biaya hidup ini kepada Sunardi, Asropi, dan Diman yang bekerja serabutan. “Program ini diberikan kepada warga kurang mampu, khususnya fakir dan miskin.” papar Hendiansyah, Kepala Asrama Rumah Yatim Banjar Baru. (Tulisan ini dikirim oleh Enuy Nuryati)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya