Merayakan Kelulusan di Puncak Gunung Slamet

Gapura Gunung Slamet.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Kami benar-benar bersyukur atas kelulusan kami. Murid-murid lain merayakan kelulusan sekolah dengan mencorat-coret pakaian, kami di sini merayakan dengan cara yang berbeda.

Jayabaya Ramal Kemunculan Satrio Wirang yang Jegal Pemimpin Gegara Kalah Bertempur

Nama saya Angga Suharto yang kerap di panggil Anggay. Salah satu murid SMK swasta di Jakarta yang ingin merayakan kelulusan dengan cara yang berbeda dari murid-murid lainnya. Tepat di hari kelulusan, saya dan beberapa teman ingin merayakan kelulusan sekolah dengan mendaki Gunung Slamet. Gunung yang kerap dibilang angker.

Tiba saatnya rencana yang sudah lama kami wacanakan terlaksana. Pagi itu, tepatnya hari Rabu, kami berkumpul di kediaman Agus Suroso. Di sana sudah berkumpul Agus Suherman, Dedi dan Agus Suroso itu sendiri. Namun, salah seorang dari kami tak kunjung datang hingga matahari memancarkan sinarnya.

Terkuak, Begini Isi Ramalan Jayabaya Perihal Masa Depan Pulau Jawa

Tepat pukul 08.00 yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Nur Abidin yang biasa dipanggil Bidin. Dia datang dengan sejuta alasan atas keterlambatannya. Bidin adalah satu-satunya orang yang sudah pernah mendaki Gunung Slamet. Perlengkapan dan peralatan untuk menaiki Gunung Slamet pun kami segera siapkan. Kami cek satu demi satu barang yang kami bawa. Setelah lengkap semua kami memutuskan untuk menuju ke Terminal Pulo Gadung.

Sesampainya di Terminal Pulo Gadung kami bergegas mencari bus tujuan Bambangan. Lega rasanya karena kami tidak tertinggal bus. Setibanya di Bambangan, kami langsung menaiki angkutan umum menuju pintu masuk Gunung Slamet. Saat itu matahari masih belum muncul dan udara sangat terasa dingin hingga menusuk ke dalam tulang.

Begini Isi Ramalan Jayabaya Soal Masa Depan Pulau Jawa, Bakal Terbelah Jadi Dua?

Sebelum kami mendaki Gunung Slamet kami diwajibkan bertemu kuncen Gunung Slamet. Abidin yang sudah merasakan puncak Gunung Slamet pun memimpin jalan menuju kediaman sang kuncen. Setibanya di sana kami tidak menemukan sang kuncen. Yang ada hanya istri dari kuncen itu sendiri. Kemudian kami meminta izin kepada istri kuncen itu untuk menaiki Gunung Slamet, dan dia pun mengizinkannya.

Kami pun berangkat dengan bekal doa dari istri sang kuncen tersebut. Pintu masuk Gunung Slamet adalah tujuan pertama kami. Di gapura pintu masuk, kami menyempatkan untuk berfoto-foto sebelum kami melanjutkan perjalanan. Setelah puas berfoto, kami pun memulai perjalanan. Kami terus berjalan sambil melihat sekeliling, Tampak pohon-pohon yang begitu besar dan berdiri kokoh. Serta terdengar suara khas serangga hutan.

Kami amat sangat menikmati perjalanan kami, dan tibalah kami di Pos Satu. Sedikit melepas rasa dahaga, kami memutuskan untuk istirahat dan minum. Perjalanan kami lanjutkan hingga ke pos yang kedua. Namun, di sini kami tidak memutuskan untuk berhenti karena jaraknya dengan pos ketiga tidak terlalu jauh.

Setibanya kami di Pos Tiga, cuaca mulai berubah. Awan hitam pekat mulai menutupi langit, suara petir mulai bersahutan. Dan saya memutuskan untuk membangun tenda, menghindari hujan yang akan turun. Hujan yang begitu deras disertai hembusan angin yang cukup kencang membuat tenda tempat kami berlindung terguncang cukup kencang

Saat di dalam tenda, Abidin menyerukan agar kami membaca surah Yasin. Saya pun bergegas mengambil surah Yasin yang sudah dipersiapkan dari rumah. Di kala saya melantunkan surah Yasin, teman-teman yang lain memutuskan untuk beristirahat sejenak melepaskan lelah.

Keanehan demi keanehan pun muncul. Terdengar suara alunan musik dangdut di kala hujan lebat. Dan anehnya, kami malah mengikuti nyanyian yang entah dari mana asalnya. Namun, kami tidak menyadari kalau tidaklah mungkin di tengah hutan ada yang menggelar acara dangdutan.

Hujan mulai reda dan terdengar sura langkah kaki yang diiringi suara percakapan. Suara semakin jelas terdengar dan bayangan pun terlihat dari dalam tenda. Ternyata segerombolan pendaki yang lewat. Dan salah satu dari mereka berkata, “Permisi Mas, saya numpang lewat,” ucapnya. Saya pun menjawab dengan lantang dan sedikit bercanda, “Masih hujan Mas, buru-buru mau ke mana sih?” Dia pun menjawab, “Sudah reda kok Mas,”.

Tidak lama kemudian kami pun tertidur pulas. Saking lelahnya, kami tertidur sangat lama hingga melewatkan tujuan awal kami untuk menikmati sunrise di puncak gunung. Matahari sudah tampak jelas dan kami baru terbangun dari tidur. Setelah makan dan membereskan tenda, kami pun melanjutkan perjalanan yang tertunda akibat hujan.

Jalan setapak terus kami telusuri hingga kami tiba di Pos Empat. Di sana kami melihat ke bawah dan nampak pemukiman penduduk. Sambil menikmati pemandangan sekitar, terlihat dari kejauhan ada seorang lelaki yang berjalan menuju kami dengan pakaian yang basah dan wajah yang lusuh. Saya pun bergegas menghampiri lelaki tersebut dan bertanya, “Pak, kok sendirian yang lain kemana?” Dia menjawab, “Saya cuma sendiri Mas,” Saya pun kembali bertanya, “Bapak sudah mau turun?” Tapi dia hanya menjawab, “Iya Mas.”

Agus pun berinisiatif menawarkan makanan dan minuman kepada lelaki tersebut. “Mas, kalau mau naik ke puncak usahakan sebelum magrib sudah turun ya,” ucapnya sambil memakan roti pemberian Agus. “Iya Pak, saya hanya sebentar di puncak, lagipula sudah siang juga ini,” jawab saya. Kemudian laki-laki itu mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanannya.

“Yuk jalan lagi, sudah kelar kan istirahatnya,” ucap Agus. Kami pun melanjutan perjalanan. Tapi di tengah perjalanan muncul keanehan berikutnya. Saat Agus menyanyikan lagu milik Ebiet G Ade yang berjudul Menjaring Matahari, namun lagu itu  sedikit dipelesetkan. Yang harusnya kata kabut, ia ganti dengan kata mendung. Dan Dedi pun menyahut dengan membalik kata mendung menjadi dungmen. Seketika awan hitam muncul dan turun hujan yang cukup lebat. Kami sampai berhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan.

Hujan terus mengiringi langkah kami menuju ke puncak Gunung Slamet. Setibanya di Pos Lima, pos yang kerap disebut Pos Seng, kami melepaskan jas hujan dan menyimpan perlengkapan kami di dalam pos itu. Beberapa saat kemudian hujan pun reda, kami bergegas melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit lagi sampai ke puncak.

Setibanya di puncak gunung, rasa lelah kami terbayarkan dengan pemandangan indah yang disajikan Gunung Slamet. Kami pun merasa puas dan meluapkan kegembiraan kami dengan berteriak-teriak sekuat tenaga. Setelah kami puas menikmati keindahan puncak Gunung Slamet, kami pun kembali ke Pos Lima untuk mengambil perlengkapan kami dan kembali turun.

Tepat azan magrib kami sampai di kediaman kuncen Gunung Slamet. Kami disambut oleh istri sang kuncen tersebut. Disuguhi pula makan malam yang begitu banyak dan diberi tempat beristirahat untuk tidur sejenak sebelum kami meninggalkan Gunung Slamet. Pagi-pagi buta kami sudah bangun dan mulai berbenah untuk pulang kembali ke Jakarta.

Saat saya keluar rumah, berdiri sang kuncen menghadap ke arah puncak gunung ditemani sebatang rokok linting khas Jawa. Saya menyapa sang kuncen dan sedikit menanyakan kejadian aneh yang terjadi. “Mbah, kok semalam saya dengar suara dangdut ya di Pos Tiga?” tanya saya penasaran. Sang kuncen hanya menjawab dengan senyuman dan saya pun kembali bertanya, “Mbah, kemarin saya juga lihat orang turun sendirian basah kuyup. Itu tidak apa-apa, Mbah?”

Akhirnya sang kuncen menjawab, “Lagu dangdut yang kamu dengar itu bukanlah lagu dangdut. Tapi suara sinden Jawa. Jadi waktu kamu naik kemarin, yang punya Gunung Slamet sedang menikahkan anaknya. Hujan yang deras itu, sengaja untuk menahan kamu karena kamu tidak diundang sama yang punya Gunung Slamet. Dan segerombolan orang yang lewat depan tenda kamu itu adalah lima orang anak UGM yang hilang. Dan sekarang mereka sudah jadi keluarga yang punya Gunung Slamet. Mereka diundang. Dan orang yang kamu lihat turun dari gunung sendiri itu adalah dukun dari Jawa yang diundang sebagai penghulu untuk menikahkan anaknya.” jelas sang kuncen.

Mendengar jawaban sang kuncen, saya hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Obrolan pun kami sudahi. Saya dan teman-teman pun meminta izin untuk pulang. (Tulisan ini dikirim oleh Audio Donadoni, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya