Persamaan Nasib Hewan Terlantar di Indonesia dan Kanada

Ilustrasi kucing rumah.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Hewan terlantar di Indonesia dan di Kanada senasib. Loh, kok bisa? Pasti kalau saya bilang begitu, banyak yang protes. Kanada kan negara maju, pengangguran saja dapat tunjangan. Urusan perut bukan lagi persoalan, sehingga masyarakat Kanada lebih mudah untuk berbagi. Baik dengan sesama maupun dengan makhluk lain, semisal anjing dan kucing.

Virus Corona: Hewan Liar Menikmati Kebebasan di Tengah Lockdown

Hewan tak bertuan hampir tak pernah ditemukan di jalan. Karena sekiranya memang bertemu, langsung diselamatkan. Bisa jadi diadopsi atau diserahkan ke organisasi penyelamatan binatang. Di Indonesia, kita belum begitu peka. Di sana-sini kita melihat kucing liar. Nasib anjing lebih memprihatinkan. Karena berstereotip galak dan haram sehingga mendapatkan perlakuan yang lebih buruk. Lantas, di mana kesamaan nasib mereka?

Lingkungan luar rumah di Indonesia dan Kanada tak ramah bagi hewan terlantar. Saya tinggal di Ottawa, ibukota Kanada, pada tahun 2011-2014 selaku diplomat. Cuacanya sangat ekstrem. Pada musim dingin yang bisa berlangsung empat bulan lebih, ada masa suhu mencapai minus 40 derajat celsius. Di luar, tanpa perlindungan, makhluk hidup seperti anjing, kucing dan lainnya, tak akan bertahan. Mereka bisa mati kedinginan.

Pergilah Dinda Cintaku

Di Indonesia, setidaknya Jakarta, yang tak ramah adalah lalu lintasnya. Sekarang saya sedang berkantor di wilayah Senayan. Memaksakan diri berolahraga demi kesehatan, saya pulang berjalan kaki jika kondisi memungkinkan. Sekitar 1,5 jam. Upaya sehat yang lumayan menyedihkan. Sebagian jalan tak bertrotoar, dan kalau ada, banyak dimanfaatkan untuk parkir dan berdagang. Sulit buat saya yang berbadan besar untuk menyelip. Sedikit saja mengambil ruang jalan kendaraan, si pejalan kaki ini kena klakson.

Banyak ruas jalan yang tak ber-zebra cross atau tidak dilengkapi dengan jembatan penyeberangan. Jika ingin menyeberang, harus menunggu lama keikhlasan pengendara. Cukup berbahaya, karena jika tidak bersabar menyeberang, banyak mobil dan motor yang justru mempercepat laju mereka karena tak mau menunggu. Nasib makhluk kecil hampir jauh lebih memilukan.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Beberapa hari lalu, dalam satu kali perjalanan kaki ke rumah, saya melihat dua bangkai kucing dalam jarak waktu yang cukup berdekatan. Kemungkinan tertabrak, tergeletak begitu saja, tak ada yang peduli. Termasuk saya yang cuma bisa berujar istigfar. Jadi, nasib hewan terlantar di Indonesia dan Kanada, jika dibiarkan hidup di luar rumah, umumnya sama. Berakhir tragis.

Faktor itulah yang mendorong Kanada begitu pro steril. Mengangkat rahim betina dan meniadakan organ seksual pejantan. Kejam menurut Anda? Lebih kejam mana dengan membiarkan anjing dan kucing berkembang biak berlipat-lipat, lalu mati satu persatu dengan penderitaan luar biasa. Bangkai mereka akan tersebar di mana-mana.

Satu kucing bisa melahirkan lebih dari empat anak. Demikian pula dengan anjing. Lalu keturunan mereka pun beranak-pinak. Apakah tindakan steril kepada kucing atau anjing, misalnya, melawan takdir Tuhan? Kejamkah menghalangi makhluk hidup lain untuk merasakan kenikmatan dan memiliki buah hati tersayang?

Kalau kemudian populasi mereka jadi tak terkontrol, sulit mencari makan, penyakitan, lalu mati. Bisakah Anda tinggal diam? Saya sih tidak. Saya akan membantu sebisa saya dengan mengutamakan prinsip mencegah itu lebih baik. Saya punya beberapa ekor kucing yang sudah disteril. Saya berani bersaksi mereka tidak hidup menderita, malah lebih gemuk, sehat dan bahagia.

Mensteril hewan kesayangan semakin menegaskan rasa cinta kita kepada mereka. Tuhan kan maha segala-galanya, termasuk maha pengertian. Saya percaya, Dia memahami bahwa tindakan steril yang didorong rasa kasih sayang sangat bermanfaat. Pro steril berarti turut mengurangi populasi kucing-kucing kelaparan di luar sana, anjing-anjing yang diperlakukan dengan tidak beperikemanusiaan, dan menyetop bangkai-bangkai di jalanan. (Tulisan ini dikirim oleh Sylvia Masri, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya