Cahaya Surga dalam Hidupku

Aku dan ibuku.
Sumber :

VIVA.co.id – Wajahnya yang menyejukkan hati dan senyumnya yang bersahaja itu menyebarkan benih-benih semangat. Hanya tiga huruf, tetapi memiliki seribu makna. Itulah ibu. Bagi seorang anak, ibu adalah malaikat bumi yang diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk memberikan cahaya pengharapan dan cahaya kasih sayang sepanjang masa. Namun bagi seorang ibu, anaklah yang merupakan malaikat kecil yang diberikan Tuhan untuk mengisi kebahagiaan dalam hidupnya.

'Kisah Cinta Ibu' Momen Spesial Ungkapan Kasih Sayang Sambut Hari Ibu

Ibu mengikat anaknya dengan cinta yang nyata dan cinta yang pasti. Karena sejeli apapun kita mencari, tidak akan pernah ada patah hati dari cinta seorang ibu. Jika mencari surga, pada ibulah surga itu terletak. Izinkan aku untuk memperkenalkan surgaku yang juga semangat hidupku ini.

Namanya adalah Minarni Junariah. Ia adalah ibu kandungku. Cahaya indah di setiap langkahku. Ia lahir pada tanggal 8 Januari 1962, sekarang usianya sudah 54 tahun. Wajar jika rambut-rambut putih itu semakin menutupi rambut hitamnya. Dan kerutan di wajahnya mulai terlihat nyata.

Phoebe Rayakan Hari Valentine dengan Merilis Lagu

Ibu merupakan anak ke-9 dari 11 bersaudara. Sejak kecil, ia selalu mendapat ujian yang sulit dalam hidupnya. Untuk bersekolah saja, ia harus membantu membuat genteng atau atap rumah terlebih dahulu di kota kelahirannya di Kebumen. Walaupun hidup terasa sulit untuk dilaluinya, ibu tetap berjuang.

Semasa ia sekolah, prestasinya menjadi buah bibir banyak orang. Namun, masalah keuangan mulai menghimpitnya sehingga ia terpaksa bersekolah hanya sampai SMA. Ia wanita yang tangguh dan memiliki prinsip yang kuat. Ia berprinsip bahwa ia tidak ingin menjadi orang miskin. Prinsip itu yang membawa ibu akhirnya merantau ke Ibu Kota. Kota yang sesak dengan para pendatang yang berharap akan hidup lebih sejahtera.

Kisah Ibu Disabilitas Riding 1.400 Km Demi Anak Saat Lockdown Corona

Ibu menumpang di rumah saudaranya. Tidak ingin terkesan menyusahkan, ia pun memutuskan untuk bekerja di suatu perusahaan. Uang yang didapatkan dari pekerjaannya, ia gunakan untuk kembali melanjutkan studinya. Ia mampu membayar kuliah dengan jerih payahnya sendiri. Setelah lulus dengan mengantongi ijazah D3, ia meneruskan hidupnya dengan melamar pekerjaan di suatu bank.

Ibu adalah orang yang tidak pernah putus untuk berusaha dan berdoa. Kabar baik, ibu diterima di bank tersebut. Lama bekerja di sana, ibu akhirnya dipertemukan oleh lelaki yang sekarang menjadi pendampingnya yang sekarang, aku sebut ia ayah. Pada tahun 1997, lahirlah aku. Ibu bahagia karena memiliki aku, itu semua terbukti dari kasih sayang dan perhatiannya yang selalu ibu curahkan untukku. Baginya, aku adalah berlian yang tidak akan bisa digantikan dengan apapun di dunia ini.

Masa-masa indah setelah kelahiranku pun mulai memudar ketika aku berumur 1 tahun. Ayahku di PHK dari kantornya, dan ibulah satu-satunya tulang punggung keluarga sampai detik ini. “Bagaikan ditampar nasib,” begitu kata ibu. Ibaratkan suatu pementasan drama, ibu adalah aktor hebat yang dapat berperan ganda. Ia memiliki dua peran, sebagai tulang punggung keluarga dan juga sebagai ibu rumah tangga.

Segala tamparan yang dirasakan ibu tidak membuat ibu kalut. Ia tetap bekerja keras, berjuang untuk keluarganya bahkan ibu dapat membuat keponakannya menjadi seorang sarjana hukum di UNS dengan jerih payah ibu sendiri. Aku bangga menyebutnya ibu. Ibu yang selalu mengorbankan segalanya demi aku dan keluarganya.

Di pagi hari sebelum berangkat kerja, aku selalu menyaksikan ibu sibuk dengan segala tugasnya. Memasak untuk aku dan ayahku. Lalu kemudian mengurus dirinya mulai dari mandi, bersolek, sampai siap untuk bekerja. Sebenarnya ibu pasti lelah, tapi senyum itu masih selalu mengembang ketika ada di hadapanku dan ayahku.

Laut diciptakan untuk selalu memeluk ombak, pepasir, juga karang. Ibu, dirimu adalah laut untukku. Jika boleh memanjatkan sebaris doa pada Tuhan, aku hanya ingin ibu selalu sehat dan diberikan waktu untuk hidup yang panjang. Agar kelak dapat menyaksikanku pada titik kesuksesan dan dapat membuat ibu dan ayah menginjakkan kaki di tanah suci. Sekali lagi, ibu adalah pesona yang tiada pernah ada batasnya. Senyum ibu melenyapkan kepedihan dan menghapuskan kesedihan. Terimakasih ibu. (Tulisan ini dikirim oleh Adinda Rahmani, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya