Bende Beca Bertalu Tanda Akan Ada Peristiwa Besar

H. Abdul Wakhid sang juru kunci, memegang pusaka Bende Beca sebelum disucikan.
Sumber :

VIVA.co.id – Waktu saya masih tinggal dan duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar (SD) di kota Rembang, tahun 1962 silam, lebih sepekan masyarakat di kota kecil tepi Pantai Laut Utara, Jawa Tengah itu gempar. Mereka seperti mendengar bunyi bende ngungkung (gong bertalu-talu) di setiap subuh buta.

Viral, Kisah Bumil Ngidam Masuk RS Terbengkalai hingga Berendam Sore Hari di Air Terjun

Esoknya sepanjang hari, warga bergerombol di perkampungan dan pedesaan membicarakan gaung bende misterius itu. Mereka menduga itu bunyi Bende Beca, pusaka peninggalan Sunan Bonang yang disimpan di Desa Bonang Lasem, 15 kilometer timur Rembang.

Kata orang-orang itu, jika Bende Beca berdengung tanpa dipukul orang, pertanda akan terjadi peristiwa besar nggegirisi (yang sangat menakutkan). Entah kebetulan atau memang ada kaitannya dengan bunyi Bende Beca itu, tak lama kemudian meletus peristiwa berdarah yang sering disebut G 30 S/PKI.

Keraton Solo Tiadakan Grebeg Maulud, Tetap Gelar Ritual Cuci Pusaka

Tahun 1985, saat saya sudah menjadi jurnalis, saya berjumpa dengan H. Abdul Wakhid di rumahnya, di Desa Bonang Lasem. Pria bertubuh kurus ini meneruskan pekerjaan almarhum ayahnya sebagai juru kunci di Petilasan Pasujudan Sunan Bonang. Tepatnya di sebuah bukit sekitar 1 kilometer dari rumahnya.

Di rumah juru kunci H Abdul Wakhid yang dulu juga rumah mendiang ayahnya, tersimpan pusaka Bende Beca. “Demikianlah, jika pusaka  Bende Beca berbunyi secara gaib. Gaungnya terdengar sampai jauh di segala penjuru. Itu isyarat bakal terjadi hal besar atau gawat di negara kita,” ujar sang juru kunci.

Ritual Malam Satu Suro Museum Pusaka TMII

Suatu waktu, malam-malam orang mendengar bunyi Bende Beca. Gemanya terdengar hingga kota Surabaya. Abdul Wakhid dihinggapi perasaan was-was. Akan terjadi apa gerangan di negara ini? Tak lama kemudian terjadi musibah tsunami, menelan korban harta dan nyawa yang tak terkira besar dan banyaknya.

Bende Beca, kata juru kunci berdasarkan riwayat lama merupakan penjelmaan pria bernama Beca. Ia duta Prabu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir, untuk menemui Sunan Bonang di Bonang Lasem. Ia berniat mengutarakan bahwa Prabu Brawijaya yang Hindu menolak anjuran Sunan Bonang untuk memeluk Islam.

Saat itu, Sunan Bonang tengah mengajar para santri di pesantren Desa Bonang. Sambil menanti Sunan usai mengajar, Beca nembang (menyanyi). Sunan Bonang agaknya terganggu dan berkata, “Siapa di luar yang ngungkung seperti bende?”. Seketika, ia berubah menjadi gong atau bende.

Sunan Bonang adalah salah satu wali dari sembilan Wali Songo di zaman para wali penyebar Islam di Nusantara enam abad silam. Beliau Waliyullah sakti mandraguna, yang juga guru Sunan Kalijaga. Satu dari empat soko guru Masjid Agung Wali Demak di Demak, dibuat oleh Sunan Bonang.

Dikisahkan, para wali tinggal terpencar di Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban (Sunan Bonang), Kudus, Demak (Pusat Islam), sampai Cirebon. Untuk mengumpulkan para wali di Demak guna melakukan rapat, Sunan Bonang memukul Bende Beca, dan didengar para wali dari tempat masing-masing.

Sepeninggal Sunan Bonang, pusaka Bende Beca yang berdiameter 10 cm dan pemukulnya, disimpan dan dirawat juru kunci. Setiap tahun, bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, di rumah juru kunci H Abdul Wakhid diadakan tradisi penjamasan (pensucian/pencucian) pusaka Bende Beca. Ribuan orang dari berbagai daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan ada pula dari Jakarta, sengaja datang melihat penjamasan Bende Beca.

Usai penjamasan, orang-orang mendekat dan berebut untuk mendapatkan air dan bunga setaman bekas dipakai mencuci Bende Beca. Konon air dan bunga setaman itu amat bertuah untuk berbagai hal. Misalnya untuk menyembuhkan segala penyakit menahun/berat. Bisa menyuburkan sawah ladang. Jika untuk mandi, bisa membuat awet muda dan tampan atau ayu. Bunga rampai malah dipercaya bisa mendatangkan rezeki.

Entah mengapa tradisi penjamasan pusaka Bende Beca, salah satu andalan obyek wisata Pemkab Rembang, beberapa tahun ini menyusut pengunjungnya. Mungkin publikasinya kurang gencar dan meluas. Atau karena acaranya yang monoton dari tahun ke tahun seperti itu. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya