Aku, Istri yang Tak Pernah Kau Anggap

Ilustrasi
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Kau bahagia setelah menikah? Kau tahu, usiaku kini sudah dua puluh lima, sudah lima tahun pula aku sekamar denganmu di rumah beratap rumbia ini. Dalam keseharian hanya aku yang menemani rumah kita seorang diri. Dari pagi sampai waktu tak tentu aku membersihkan rumah, menyiapkan makan untukmu, mencuci pakaianmu, bahkan aku pula yang harus belanja ke pasar sejauh satu kilometer seorang diri hingga kakiku pegal-pegal dan badanku sakit sekali.

Pergilah Dinda Cintaku

Awal yang manis kau berikan waktu itu, kupikir cinta itu nyata untukku seorang. Belakang baru kuketahui kau membual janji terlalu banyak dalam hubungan kita. Kau jadikan tubuhmu sebagai raja dan aku sebagai mesin pekerja. Setiap waktu makan tiba, kau harus selalu kulayani tanpa pernah mengerti aku sedang mengerjakan pekerjaan lain. Bahkan, untuk air putih saja kau enggan bangkit dari tempat dudukmu sampai semua isi piring habis. Tetap saja, aku harus menghidangkan semua keperluan perutmu.

Kau masih ingat? Aku istrimu! Hanya setahun kau bersikap manis padaku, kau belai rambutku, kau bisikkan ucapan pemanis hidup rumah tangga kita, kau ajak aku ke mana langkahmu membawa angan, kau kenalkan aku pada semua rekanmu, bahkan kau selalu tersenyum penuh sayang padaku. Itu dulu, sebelum kau mencintai yang lain.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Kini aku sendiri dalam status lingkungan banyak mata memandangku masih bersuami. Dalam kesendirian hidupku tak ubah bagai sebatang pohon pisang mandul tak terbuahi. Berdiri sendiri, membungkuk melihat tanah berembun bahkan mengering. Kiri kanan hanya senyum iba yang kudapat. “Kalau kau bosan, lakukan saja apa maumu seorang diri!” katamu suatu ketika.

Aku memang terlahir sebagai perempuan kampung yang bodoh. Aku tidak paham maksud kata-katamu. Tetapi kau tidak jelaskan apa maumu. Kau abaikan diriku seorang diri lantas kau pergi bersama orang lain. Belum lima menit kau sandarkan tubuhmu di rumah, kau langkahkan lagi kakimu keluar begitu getaran di ponselmu menganggu pandanganku. Dan aku, tidak pernah perlu menunggu kapan kau pulang.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Tidurku yang gelisah tidak pernah bisa kupaksakan nyenyak sampai dini hari. Di saat ayam berkokok karena terang bulan, jam sudah menjelang pagi, kau masih juga belum membaringkan tubuh kurusmu di sampingku. Saat suara azan di masjid kampung kita terdengar sayup, baru kau ketuk pintu dengan suara sangat keras. Sedikit saja aku terlambat membuka pintu untukmu, kau akan menurunkan tangan kasarmu ke wajahku. Kau bahagia karena itu? Sudah tidak terhitung lagi sifat egoistis kau limpahkan padaku.

Kita masih muda dan barangkali masih bisa menciptakan suka sesuai kemampuan kita. Tetapi kau tidak pernah mau mendengar ucapanku yang hampir kering di makan angin sepoi-sepoi teras rumah kita. Saatku berbicara, kau malah menyibukkan diri dengan aktivitas lain. Kau lebih memilih menonton televisi dibandingkan mendengar suaraku. Kau tertawa begitu pelakon seni itu membuat lucu dan kau diam begitu informasi serius. Kau sudah kumiliki, kenapa masih memilih yang lain?

Pilihanmu salah menurutku. Tanggung jawabmu hanya aku seorang bukan yang lain. Kau sudah mengikrarkan janji setia padaku, menjagaku setiap waktu, bukan membiarkanku sendiri dalam sepi. Kau sudah mencintai dia! Dia yang salah. Hidupmu bukan lagi di luar rumah setelah kau ketahui kedudukanku. Kau hidup tidak lagi sebatang kara, sudah ada aku yang menanti apa yang kau bawa pulang untuk mengisi perut kita.

Cintamu pada dia yang selalu mengajak bermain permainan masa lajang sudah seharusnya kau tinggalkan. Kutahu, kau mencintai teman-temanmu. Kau berhak meluangkan waktu untuk mereka kapan pun, tapi tidak dengan kau tinggalkanku seorang diri. Kau habiskan waktu bersama mereka, tidak bekerja, pulang untuk makan saja, pergi lagi sampai lupa aku takut di malam-malam sunyi. Kau tidak memahami hatiku!

Kuajak kau menemaniku di sore menjelang magrib, kau selalu mengelak. “Aku malu membawamu ke mana-mana, kita tidak punya anak!” ucapmu. Demikian? Sekarang karena aku belum memberimu keturunan kau enggan membawaku bersamamu? Lalu mereka, teman laki-lakimu? Kau habiskan waktu bersama mereka setiap saat. Kau jalan mengitari waktu tanpa kenal lelah, juga tanpa seorang anak!

Kini, aku lelah bersuami denganmu! Aku perempuan, hatiku tidak sekuat hatimu begitu kau lontarkan kata-kata sesinis apapun. Bukan kemauanku kita belum memiliki keturunan di usia perkawinan kita ini. Kau bahkan tidak lagi memelukku semenjak waktumu habis bersama teman-teman lajangmu. Apa mereka pernah tahu kau sudah menikah? Kurasa mereka paham, atau memang mereka membiarkan.

Teman hidupmu bukan lagi mereka setelah kau menikahiku. Mana ada teman membiarkanmu berkeliaran di luar rumah tiap malam, sedangkan mereka tahu kau sudah beristri? “Bicarakan baik-baik dengan suamimu,” ujar ibu ketika melihat sendu di wajahku. Rumah kita memang terpisah dengan keluargaku, tetapi naluri Ibu seperti tahu resah dan gelisah anaknya.

Ibu datang ke rumah pagi itu, saat kau sudah menghilang entah ke mana tujuan dan akan pulang makan siang. “Bicara apa? Kami baik-baik saja, Bu!” elakku. “Kamu bilang baik? Jangan bohongi Ibu!” Aku seperti telah divonis bersalah karena laki-laki yang kusebut suami. Bahkan Ibu, menjadikanku sebagai pelampiasan hubungan kami yang tak harmonis.

“Dia sering tidak di rumah, Bu!” ucapku. “Dia kan bekerja!” ujar ibuku. “Dia tidak bekerja!” jawabku lagi. ”Mana mungkin tidak bekerja, dia cari nafkah untukmu!” ibu kembali berujar. “Dia bersama teman-temannya, Bu!” sanggahku lelah. “Kamu tahu dari mana?” ucap ibu. “Dia katakan sendiri padaku. Ibu tunggulah jika tidak percaya apa yang dia bawa pulang siang nanti. Dia hanya bawa diri lalu membentakku jika tidak ada makanan enak di atas meja makan!” ucapku lirih.

“Sesekali tidak masalah dia bersama temannya!” ibu masih membelanya. “Tidak hanya sekali, berulang kali! Aku istrinya bukan teman laki-lakinya itu! Ibu tahu? Tidak pernah lagi dia menemaniku ke mana-mana, setiap kuajak selalu saja alasan tak punya anak keluar dari mulutnya!” Ibu terdiam. Raut wajahnya sulit kutafsirkan. “Aku tidak meminta ini, Bu! Bukan kemauanku kami tidak memiliki keturunan sampai sekarang. Tetapi dia, menghakimiku seperti hanya aku seorang diri dalam keluarga kami. Dan dia, keluyuran di luar rumah tak kenal waktu tidak pernah kupersoalkan. “Benarkah dia bersama teman laki-lakinya? Apakah dia sudah punya perempuan lain? Apakah dia tidak menghargaiku lagi sebagai istri?” Ibu masih diam.

Aku sudah sangat kuat untuk menangisi nasib hidupku yang seakan bahagia telah diciptakan oleh laki-laki itu. Bahkan, menyebutnya sebagai suami saja sudah enggan kulakukan. Kewajibannya hanya aku, aku yang dinikahinya bukan teman laki-laki itu. Entah zaman sekarang sudah terdapat definisi bahagia dari persahabatan istimewa antara laki-laki. Entah, mungkin kau tahu ibu di rumah. Fisikmu tak terlihat sampai menjelang magrib.

Ibu pun pulang. Kau pun kembali membentakku karena tidak tersedia makanan untukmu. Semua sudah terlanjur. Kau ciptakan perkara ini sebagai luapan emosi tak berujung pangkal sehingga aku takut bersamamu. “Pernahkah kau bawa pulang bekal untukku masak?” ucapku. “Berani sekali kau membentakku?” hardiknya. “Kau sendiri berapa kali sudah membentakku?” tanyaku. “Aku suamimu!” bentaknya. “Aku istrimu!”. Kami saling tatap. “Dan aku tidak kau anggap sebagai istri,” ucapku lirih.

Dari gaya berdiri di depan pintu, sepertinya kau akan segera lari dari pembicaraan kita ini. Tetapi aku, akan kulimpahkan semua kekesalan ini. “Larilah! Semoga teman laki-laki itu bisa memberimu keturunan!” Hidupku sudah tidak sempurna, berpisah denganmu pun akan membawa malu padaku dan keluargaku. Biarkan saja! Kau tak akan merasa kehilangan sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah tangga berantakan ini! (Cerita ini dikirim oleh Bairuindra)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya