Membahagiakan Cucu di Hari Lebaran dari Hasil Menjual Cacing

Pak Broto dengan topi kumal dan motor tuanya setiap hari berburu cacing. (HCA)
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Pak Broto, sebut saja namanya begitu. Kegiatannya setiap hari tergolong aneh. Pagi-pagi keluar dari rumah, naik motor tua sambil menenteng jeriken kumuh dan menyusuri sungai-sungai. Setelah ditentukan sungai pilihannya, dia turun dari motor dan mulai beraksi. Dua tangan keriputnya sigap mengais membolak-balik lumpur berbau sepanjang tepian kali. Itulah Pak Broto, sedang berburu dan mengumpulkan cacing-cacing.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Pekerjaan mencari cacing telah dilakukan lelaki usia 56 tahun ini lebih dari lima tahun. Dulu terasa lebih berat karena pergi pulang ke rumah di Desa Ngeluk, Pati, Jawa Tengah dengan berjalan kaki. Setelah anak lelaki sulungnya yang merantau di Jakarta membelikan motor tua, pekerjaannya terasa agak ringan. Bisa pulang lebih awal, bersamaan dengan istrinya yang pulang dari jual sayur-mayur di pasar.

"Tak banyak orang mau kerja seperti saya," ucapnya saat ditemui di tepi Sungai Sani, Pati, tempatnya hari itu berburu cacing. Orang harus berendam di lumpur kotor, mengumpulkan cacing menjijikan. "Dari pada nganggur, mencari cacing apa salahnya. Hasilnya memang tak seberapa tapi halal. Bisa buat uang jajan cucu di lebaran nanti," tambahnya.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Pak Broto mempunyai dua anak, semua sudah menikah. Dari mereka didapatlah tiga orang cucu. Mencari dan mengumpulkan cacing adalah pekerjaan berat, butuh kesabaran, dan harus tahan bau tak sedap. Pagi-pagi setelah makan sahur dan istirahat sejenak, sekitar pukul 06.00 Pak Broto keluar rumah mencari sasaran sungai yang diperkirakan banyak cacingnya. “Jika terlalu siang, cacing-cacing tidak muncul di permukaan tanah. Mereka tak suka sinar dan panas matahari,” jelas Pak Broto.

Setelah berendam selama dua sampai tiga jam di tepi aliran sungai, menjumputi cacing-cacing di lumpur, terkumpullah sebanyak satu jeriken. Pak Broto kemudian bergegas pulang. Setiba di rumah, cacing-cacing dalam jeriken dipilah. Hanya cacing rambut yang laku dijual. Cacing seukuran rambut berwarna kemerahan itu dibutuhkan para peternak ikan hias air tawar.

Bantuan untuk Pesantren Mirrozatul Lombok Barat

Dari satu jeriken cacing yang didapat Pak Broto dari sungai, hanya diperoleh satu gelas cacing rambut. Oleh peternak ikan hias, dibeli dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Harga tersebut terkadang merosot sampai Rp 8.000/gelas jika para peternak ikan hias di kota Pati masih punya stok cacing yang cukup.

Selama bulan Ramadan dan Pak Broto menjalankan ibadah puasa, ia tak pernah absen berburu cacing setiap hari. Dirinya bersyukur tak pernah sakit. Jika badan pegal-pegal, segera diminumnya jejamuan racikan istri sendiri. Uang yang terkumpul dari hasil menjual cacing, rencananya akan digunakan oleh Pak Broto untuk berlebaran dan dibagikan pada cucu-cucunya. Sungguh sederhana, tapi sangat mulia hati kakek satu ini bukan? (Cerita ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)

Ilustrasi.

Pergilah Dinda Cintaku

Maafkan aku yang terlalu berlebihan mencintaimu.

img_title
VIVA.co.id
26 Februari 2018