Nasib Perawat Muda di Zaman Modern

La Erwin, mahasiswa keperawatan UMI Makassar.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Keperawatan sebagai suatu profesi sudah ada sejak manusia ada di bumi ini. Keperawatan terus berkembang sesuai dengan kemajuan peradaban teknologi dan kebudayaan. Konsep keperawatan dari abad ke abad terus berkembang. Namun, kita lihat sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh kolonial penjajah di antaranya Jepang, Belanda, dan Inggris.

Memahami Bagaimana Menulis untuk Advokasi Publik

Dalam perkembangannya di Indonesia, keperawatan dibagi menjadi dua masa yaitu masa sebelum merdeka dan sesudah merdeka. Pada masa sebelum merdeka itu, negara Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Perawat yang berasal dari Indonesia disebut sebagai Verpleger dengan dibantu oleh Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit. Perawat Indonesia tersebut pertama kali bekerja di rumah sakit Binnen Hospital yang terletak di Jakarta pada tahun 1799. Mereka ditugaskan untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Akhirnya pada masa Belanda terbentuklah dinas kesehatan tentara dan dinas kesehatan rakyat.

Mengingat tujuan pendirian rumah sakit hanya untuk kepentingan Belanda, maka tidak diikuti perkembangan dalam keperawatan. Namun, pada saat masa penjajahan Inggris yaitu Rafless, mereka memperhatikan kesehatan rakyat dengan moto kesehatan adalah milik manusia. Dan pada saat itu pula telah diadakan berbagai usaha dalam memelihara kesehatan.

Pergilah Dinda Cintaku

Kemudian pada masa sesudah merdeka, tepatnya pada tahun 1949 telah banyak rumah sakit yang didirikan serta balai pengobatan. Dan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, pada tahun 1952 didirikan sekolah perawat, kemudian pada tahun 1962 telah dibuka pendidikan keperawatan yang setara dengan diploma.

Pada tahun 1985 untuk pertama kalinya dibuka pendidikan keperawatan setingkat dengan sarjana yang dilaksanakan di Universitas Indonesia dengan nama Program Studi Ilmu Keperawatan. Dan akhirnya, dengan berkembangnya Ilmu Keperawatan, maka menjadi sebuah Fakultas Ilmu Keperawatan dan beberapa tahun kemudian diikuti berdirinya pendidikan keperawatan setingkat S1 di berbagai universitas di Indonesia, seperti di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Namun, jika kita lihat perkembangannya di zaman sekarang ini, generasi muda perawat Indonesia begitu banyak lulusannya, namun angka persentase pengangguran mereka juga cukup banyak. Lembaga-lembaga pendidikan selalu memberikan peluang untuk mendidik perawat-perawat yang punya keahlian, keterampilan, bahkan setiap tahun selalu menciptakan lulusan-lulusan terbaru. Tapi sayangnya, setelah menjadi alumni, keterampilan itu tidak lagi dibutuhkan alias mereka menjadi pengangguran.

Kemudian kita lihat di zaman sebelum penjajahan, para perawat dijajah oleh orang-orang tentara Belanda dengan mempekerjakan perawat-perawat. Namun di zaman sekarang ini, justru perawat yang menjajah profesinya sendiri. Kenapa? Karena setiap tahun ke tahun perawat selalu dipersulit untuk mencapai STR, seakan-akan STR ini adalah suatu gelar yang mendiskriminasi kepecayaannya kepada kampus yang mendidik perawat-perawat kurang lebih 5 tahun.

Kita lihat angka persentase setiap kota, begitu banyak sekolah-sekolah kesehatan yang kemudian sekolah-sekolah ini akan menciptakan ribuan lulusan keperawatan setiap tahunnya, tapi tidak dibandingkan dengan peluang kerjanya. Menurut pendapat dari kepala dinas kesehatan kota Sulawesi Selatan bahwa populasi terbanyak lulusannya setiap tahun khususnya di bidang kesehatan di Sulawesi Selatan peringkat pertama adalah perawat, kemudian peringkat kedua kebidanan, dan peringkat ketiga kedokteran. Bahkan di kota-kota lainpun sampai ke polosok-polosok banyak lulusan perawat yang belum punya pekerjaan karena lowongan kerjanya sangatlah kecil.

Dari persentase tersebut, berarti dapat disimpulkan bahwa begitu banyak lulusan keperawatan yang menganggur di negeri ini. Lantas apa yang perlu kita perbuat? Seandainya pohon bisa bicara, sang induk akan selalu berkata kepada anaknya, "Nak, menjauhlah dari ibu bila kamu ingin tumbuh besar dan berbuah". Fenomena yang sama bisa terjadi pada manusia, termasuk perawat muda. Bila kalian ingin tumbuh besar , kuat dan berkembang, bekerjalah tanpa upah. Inilah tantangan terbesar profesi ini saat ini, selain masalah minimnya perlindungan dan masalah-masalah lain di atas.

Karena dari kerelaan inilah yaitu bekerja tanpa upah sama sekali menjadikan profesi ini sampai hari ini belum bisa bangkit sejajar dengan profesi yang lain. Mungkin tidak enak kedengarannya, tapi memang demikian adanya. Inilah fakta yang boleh jadi sebagian besar dari kita tidak mengetahuinya. Atau boleh saja sudah tahu, akan tetapi mengabaikannya. Aneh memang, bagaimana mungkin sekolah bertahun-tahun lalu kuliah profesi selama lima tahun, namun tidak bisa menentukan harga diri sebagai manusia dengan menerima upah yang layak.

Bandingkan dengan pekerja kasar yang tidak harus sekolah sampai sarjana seperti perawat, yang biasa diminta hanya untuk sekadar memperbaiki atap rumah yang bocor, ataupun memperbaiki bangunan rumah kita. Jika standar harga yang mereka tetapkan tidak disepakati dengan yang empunya rumah, maka dengan gagah berani mereka dapat menolak pekerjaan tersebut.

Lalu, apa artinya sekolah puluhan tahun, lulus ujian berkali-kali, mengalami penggemblengan di setiap tingkat pendidikan, menerima mata ajar manajemen, menyelesaikan tugas ilmiah hingga skripsi, namun pada akhirnya rela bekerja menakar urine, memberi makan pasien, rela dimarahi baik oleh pasien maupun senior, membersihkan kotoran pasien, menyuntikkan obat yang berisiko, melakukan resusitasi, menangani yang sakit jiwa, berusaha menyelamatkan jiwa yang kritis, menghentikan perdarahan, memasukkan obat dan alat ke kemaluan orang lain, hingga merawat luka yang penuh borok dan bau busuk, namun tidak berani menetapkan nilai yang layak atas setiap usaha dan kerja keras tersebut?

Tidak perlu harga yang mahal, minimal yang layak saja. Itu sudah lumayan. Tapi ini tidak ada sama sekali. Di sinilah terlihat dengan sangat jelas gagalnya pendidikan negeri ini. Kita gagal mendidik manusia yang tahu akan dirinya, tahu harga dirinya, sekalipun tentunya menolong manusia tidak semuanya harus dengan pamrih.

Sekali lagi, ini bukan soal pamrih, tapi soal perlakuan yang layak. Karena manusia seperti perawat juga butuh makan, minum, butuh kendaraan, butuh menikah, dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tapi juga di seluruh pelosok negeri ini. Bahkan parahnya, tidak hanya dialami oleh perawat, tapi juga banyak profesi lain namun yang terbanyak adalah perawat.

Kita tidak sedang menyalahkan siapa-siapa, akan tetapi saya coba memaparkan fakta sehingga semua orang yang mengaku bertumpah darah Indonesia mengetahui akan hal ini, dan berusaha mengambil bagian untuk perbaikannya. Jika tidak, maka cepat atau lambat kita akan kehilangan generasi terbaik kita. Generasi tanpa harga diri.

Lebih lanjut saya sampaikan sebagai salah satu solusi yang boleh jadi bisa memecah kemelut dan kebuntuan ini adalah dengan melakukan audiensi dan diskusi dengan pemerintah di berbagai tingkatan. Kita bersyukur di Kota Makassar bertepatan dengan International Nurses Day kemarin, walikota Makassar telah menyampaikan dan berkomitmen bahwa tidak boleh lagi ada fasilitas kesehatan yang mempekerjakan perawat dengan upah di bawah UMR/UMP.

Hal ini patut diapresiasi. Organisasi profesi harus bisa menjembatani hal ini sebab hal ini sangat merugikan. Tidak hanya bagi perawat, pemerintah, namun juga penerima layanan kesehatan. Terakhir saya ingin menyampaikan pesan kepada para orang tua yang berniat menyekolahkan anaknya sebagai perawat agar berpikir seribu kali sebelum memutuskannya.

Bukan apa-apa. Jika memilih sekolah perawat hanya untuk mendapatkan lapangan kerja sebagai perawat, maka ketahuilah bahwa saat ini pengangguran sebagai perawat di dalam negeri ini jauh lebih besar dibandingkan mereka yang sudah bekerja dan mendapatkan upah yang layak. Jika memilih sekolah perawat untuk bisa bersaing di luar negeri mungkin bisa dipertimbangkan.

Akan tetapi, bapak dan ibu harus ingat bahwa memilih sekolah abal-abal adalah langkah awal menjerumuskan anak Anda menjadi seorang yang boleh jadi tidak memiliki harga diri di masa mendatang, sebab mau saja bekerja dengan segala risiko lalu tidak diberikan upah yang layak. (Tulisan ini dikirim oleh La Erwin, Makassar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya