Never Give Up

Never Give Up
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Matahari malas membakar siang. Setelah tergelincir di arah barat ia membisu. Sementara awan terapung resah, menaungi langkah-langkah kakiku yang gontai. Pantofel bututku bergerak liar, menyusuri trotoar yang lebih tepat disebut kawasan pedagang kaki lima. Warung-warung tenda berjejer tak rapi.

Aku Malu Mengecewakan 43 Juta Penggemarku

Kebanyakan menjajakan makanan pengenyang perut dengan harga murah. Di antaranya, tempat tambal ban, kios rokok, dan pengecer bensin. Tiga perempat lebar trotoar dimakannya, sisanya diperebutkan antara pejalan kaki dan motor yang terparkir liar.

Aku yang seharusnya berhak atasnya, justru harus mengalah. Sesekali aku turun ke jalan raya yang dipenuhi lubang-lubang menganga. Sungguh ironi. Jalan akses ke kawasan industri kondisinya sangat mengenaskan. Hampir sebagian aspalnya mengelupas. Sejauh mata memandang seperti jerawat yang tumbuh di wajahku. Bahkan lebih parah.

Hindari Tudingan Mesum, Pria Ini Tinggal di Tanah Suci

Setiap hari truk-truk besar berlomba merusaknya. Aspal yang tergerus menunggu hujan menyapunya ke selokan yang bersampah. Tak ada kabar pasti kapan akan diperbaiki. Isu yang berkembang katanya, jalan ini akan dibeton. Entah kapan, aku tak peduli. Pabrik-pabrik itu juga tak peduli denganku. Mereka hanya mementingkan laba. Tak peduli limbah dan polusi meracuni warga sekitar. Kawasan industri ini sudah berdiri ketika aku lahir.

Kini ketika aku membutuhkan pekerjaan, tak satu pun yang memberikannya. Aku berhenti di depan kios rokok. Mengambil selembar pecahan lima ribuan lalu menyerahkannya kepada lelaki di dalam gerobak melalui lubang. Lubang itu berbentuk bujur sangkar, semacam jendela. Luasnya cukup untuk memasukan tubuhku ke dalam. "Roti satu, Pak!" kataku seraya menyerahkan uang kepada lelaki yang kuperkirakan berusia kepala empat.

Keren, Pria Ganteng Ini Mundur dari Kursi Kekuasaan di Bulan Ramadan

Itu adalah uang terakhir yang aku punya. Aku membutuhkannya untuk membayar fotocopy ijazah. Huft! Fotocopy lagi. Membuat surat lamaran kerja lagi. Pasti ditolak lagi. Aku sudah bosan melakukan ini. Di antara puluhan bendel lamaran, hanya satu yang membuatku dipanggil untuk wawancara. Ketika itu rasanya seperti mendapat ikan kakap setelah memberi banyak umpan ikan-ikan kecil.

Aku melompat gembira. Tak henti-hentinya mengucap syukur. Kemudian malamnya dahiku kusungkurkan di atas sajadah. Memohon ampun atas keputusasaan yang pernah singgah di hatiku, juga menengadahkan kedua tangan, meminta kepada Tuhan untuk membuka hati tuan-tuan berdasi.

Dan pagi tadi aku bangun sebelum ayam berkokok. Mempersiapkan segala sesuatunya sampai lupa untuk sarapan. "Perusahaan kami membutuhkan pekerja keras, punya dedikasi tinggi serta pantang menyerah," ucap Pak Haryanto ST. Nama itu aku baca di kartu identitas yang talinya tergantung di leher. "Apakah Anda orangnya?" "Ya, Pak!" jawabku mantap.

Semangat meletup di dadaku. Siap kumuntahkan demi menghapus cap pengangguran yang selama dua tahun melekat. Pak Haryanto mengangkat sepasang alisnya. "Senang sekali saya mendengarnya. Itu jawaban yang saya tunggu. Namun saya harus bersabar sampai Anda benar-benar menandatangani surat kontraknya. Sebelumnya saya akan jelaskan tantangan apa yang harus Anda hadapi. Sebentar!"

Aku menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat pria berdasi yang punya jabatan kepala personalia. Meja menjadi jarak antara kami. Di atasnya sebuah laptop dan setumpuk berkas. Ia mengambil satu map di antaranya. "Ini surat kontrak kerja," lanjutnya seraya membuka map. Ia menyodorkannya kepadaku. "Perusahaan kami adalah perusahaan multinasional. Produk yang kami pasarkan adalah barang-barang berkualitas ekspor dengan harga terjangkau. Kami ingin produk-produk tersebut tidak hanya terpajang di toko-toko besar. Kami ingin masyarakat luas mudah mendapatkannya. Kami percaya Anda sanggup memasarkannya di level pengecer. Saya sudah membaca lamaran Anda. Anda memiliki SIM C. Dan kami akan menyiapkan armadanya. Anda paham maksud saya?" Sesak napasku jika mengingat percakapanku tadi di ruang personalia. Aku terjebak oleh kebodohan sendiri.

Seharusnya aku teliti dan curiga kenapa ada persyaratan harus memiliki SIM C pada iklan lowongan kerja segala. Apa korelasinya antara posisi operator produksi dengan SIM? Jelas ini penipuan. Maka itu aku menolak untuk menandatangani surat kontrak. "Kamu boleh duduk di kursi ini," kata penjual rokok membuyarkan lamunanku.

Ia membawa dua buah kursi plastik. Satu ia duduki, satu ditawarkan padaku. Aku meletakan pantat di atas kursi tersebut. Duduk bersebelahan dengannya sambil memangku tas ransel. "Tampaknya kamu sedang mencari pekerjaan," tebaknya. Pandangannya menelanjangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku tersenyum dikulum.

Dengan penampilanku yang mengenakan kemeja putih lengan panjang yang bawahnya kumasukan ke dalam celana panjang warna hitam, sabuk melingkar di pinggang, dan kaki terbungkus sepatu pantofel, mudah baginya untuk menebaknya. "Di kota ini banyak perusahaan. Kamu akan mudah mendapatkan pekerjaan jika punya orang dalam dan kamu melamarnya menggunakan ijazah SMP. Mereka ingin membayar karyawan dengan gaji rendah. Jadi percuma kamu melamar menggunakan ijazah SMA atau diploma," ucap penjual rokok.

Aku mengangguk saja. Menukas kalimatnya hanya akan membuatnya banyak bicara. Aku malas membahasnya. Harapanku sedang hancur. Aku sedang mengalami titik nadir dalam mencari pekerjaan. Asa yang tersisa tinggal kepingan tak berarti. "Perusahaan di Indonesia itu payah! Mereka merekrut pekerja tapi enggan menjadikannya karyawan tetap. Jika sistem kontrak seharusnya mereka menggunakan jasa outsourcing, bukan dengan merekrut langsung. Dan pekerja inti semisal bagian produksi itu tidak boleh menggunakan sistem outsourcing sebab pekerja-pekerja itu hanya untuk pekerjaan tambahan misalnya officeboy atau cleaning service.”

Kupandangi penjual rokok. Aku nyaris tak percaya ia mengucapkan kalimat-kalimat itu. Sekarang gantian pandanganku yang menelanjanginya. Penampilannya tidak meyakinkan. Mukanya lebih lusuh dari kaos oblongnya yang warnanya tidak jelas, entah putih atau kuning. Cara memakai sarung pun tak rapi, asal-asalan. Kutebak pasti ia belum mandi. Ada kotoran di antara ujung mata dan tulang hidung. Wajahnya pun kusam, sepertinya belum tersentuh air sejak bangun tidur. Diri sendiri saja tak diperhatikan. Bagaimana mungkin ia bisa memperhatikan orang lain. Ia hanya sok tahu.

Namun, jika demikian penilaianku, aku harus berpikir ulang. Kata-katanya masuk akal. Jika ia membual, setidaknya ia punya wawasan dasar. Entahlah, aku sedang malas berpikir. "Kaget ya? Seorang penjual rokok berbicara seperti pengamat ekonomi." Ia menyeringai. Sorot matanya mencibir tampang bodohku. Ia seperti malaikat, bisa tahu apa yang ada di benakku. Atau mungkin ia iblis yang pandai menghasut pecundang sepertiku. Memprovokasiku untuk membenci ketidakberesan sistem ketenagakerjaan negeri ini itu percuma.

Anak usia sembilan belas tahun sepertiku belum bisa berpikir logis untuk menilai kebobrokan pengendali ekonomi. "Saya tidak paham maksud ucapan bapak. Saya hanya ingin bekerja. Dua tahun saya menganggur. Meskipun setiap hari saya mencari pekerjaan, orang-orang tetap menganggapku sampah. Mungkin mereka benar. Saya tak layak marah karenanya," kataku sambil menahan nyeri di sudut hati.

Kadang aku bertanya. Kenapa aku kurang beruntung dibandingkan teman-teman sekolahku. Mereka bisa kuliah. Yang tidak kuliah bisa mendapatkan pekerjaan. Sedangkan aku? Aku tidak iri dengan mereka. Aku hanya ingin bisa membantu meringankan beban ibu. Aku kasihan padanya. Sejak ayah tiada, ia menjadi petarung tunggal. Membiayaiku dan dua adikku dengan berjualan jamu. Pagi setelah kami berangkat sekolah, ia kayuh sepeda berkeliling kampung, menjajakan dagangannya sampai sore. "Jika tidak krismon, mungkin saya sudah menjadi manager di perusahaan besar di Jakarta," ucap penjual rokok seperti bicara sendiri.

Pandangannya menerawang jauh ke langit. Ia gantung kalimatnya di sana. Seolah ada layar lebar dan sorot matanya adalah proyektor. Aku terkejut mendengar pengakuannya. Sulit dipercaya lelaki kumuh di sebelahku dulunya hampir menjadi manager. "Apa itu krismon?" Tanyaku. "Krismon itu krisis moneter. Sebelum orde baru tumbang, negara ini mengalaminya. Inflasi terbang tinggi sementara nilai kurs rupiah terjun bebas. Banyak perusahaan gulung tikar. Dan kau tahu artinya?" "Tidak." "Saya kehilangan pekerjaan tanpa pesangon.

Waktu itu posisi saya supervisor. Untuk bertahan hidup saya terpaksa melakukan apa saja. Termasuk menjadi pengecer togel. Saya pernah dipenjara lima bulan karenanya." Ia terkekeh. "Terus?" Aku mulai tertarik kisahnya. "Istri saya pulang ke orang tua. Disamping malu, juga tak tahan hidup kekurangan. Akhirnya saya pulang kampung. Di kampung saya membuka warung nasi. Mungkin karena kurang pengalaman, akhirnya modal dari pinjam rentenir habis. Setelah itu usaha apa saja saya coba. Sama saja. Ujung-ujungnya tetap kehabisan modal. Utang numpuk di mana-mana.

Sejak itu saya menjadi orang penting. Banyak dicari orang, terutama rentenir. Hahaha..!" Ia terbahak untuk waktu yang cukup lama. "Pak Yatin!" Terdengar suara merdu menghentikan tawa penjual rokok. Seorang gadis berwajah manis menghampiri kami dengan membawa kantung plastik ukuran besar.

Ia masih mengenakan seragam putih abu-abu, tapi kakinya beralaskan sandal jepit. Ia menyerahkan bawaannya kepada penjual rokok yang baru kutahu bernama Pak Yatin. "Ini titipan dari ibu. Nasinya dua puluh bungkus. Gorengannya lima puluh buah." Pak Yatin menerimanya, "Makasih, Nduk!" "Sama-sama," balas gadis itu.

Sepersekian detik mata kami saling bersirobok. Darahku berdesir. Ia lumayan cantik. Jilbab yang menutupi auratnya sangat serasi dengan wajah ovalnya. Belum puas kumemandangnya, ia terlebih dahulu berlalu dari hadapanku. Aku masih memerhatikannya sampai belokan menelannya. "Kenapa, cantik ya?" ledek Pak Yatin tanpa memandang ke arahku. Ia sedang sibuk menata nasi bungkus yang baru diterimanya. Aku tersipu malu.

Mungkin akan lebih malu jika wajah merahku tertangkap oleh bola matanya. "Namanya Lia. Rambutnya rontok. Mungkin sekarang sudah gundul. Kamu mau sama dia?" Aku mengernyit. "Gundul? Memang kenapa bisa sampai begitu?" Pak Yatin memandangku. "Itu efek kemoterapi. Lia mengidap leukimia. Ia sering kesakitan. Hampir setiap malam ia merintih menahan sakit yang luar biasa. Saya tidak tega mendengarnya. Rumahnya berhadapan dengan rumahku. Makanya saya sering tidur di sini.”

Mulutku menganga mendengar penjelasan Pak Yatin. Gadis belia sepertinya menderita penyakit yang mematikan. "Kasihan sekali ya, Pak?" Pak Yatin kembali duduk di sebelahku. "Lia tahu hidupnya tidak lama lagi. Tapi ia tak pernah murung. Ia tetap hidup normal. Sekolah, bermain, dan rajin membantu ibunya membuat nasi bungkus dan mengantarkannya ke warung-warung."

Belum ada satu jam berada di sini, aku telah mendapatkan pelajaran berharga. Hidup adalah proses. Seperti itulah yang aku simpulkan dari perjalanan hidup Pak Yatin. Jatuh bangun ia mengarungi hidup, tapi ia masih tegar menatap dunia. Begitu pula dengan gadis bernama Lia, aku belajar darinya tentang semangat hidup.

Mereka tidak pernah menyerah. Sungguh pelajaran yang sangat tak pernah kutemukan di buku sekolah. Bukankah hidup adalah belajar? Belajar sejak dari alam kandungan sampai ke liang lahat. "Kamu melamar kerja di pabrik apa?" Tanya Pak Yatin. "Semua pabrik di kota ini sudah saya masuki," jawabku. "Ini baru awal. Kota lain belum saya taklukan. I will fight till the end and never give up." (Tulisan ini dikirim Akhmad Al Hasni, Kendal, Jawa Tengah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya