Generasi yang Hilang

Foto yang saya ambil di daerah Frontage road Jl. Ahmad Yani Surabaya.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – "Apa kau tahu jarak yang paling jauh, tetapi tidak pernah terlihat? Ketidaktahuan." Seperti itu kira-kira ucapan lelaki paruh baya itu. Tepatnya dua belas tahun yang lalu, saat aku masih berusaha mengeja dan menghapalkan nama-nama benda yang ia sodorkan padaku. Kemudian ia akan kembali mengoceh tentang kebodohan orang-orang Tengah yang tidak mau mengerti tentang orang-orang Timur. Dan betapa bodohnya, ia membodoh-bodohkan orang tengah yang tak mau mengerti tentang orang timur.

Keji! Siswi 15 Tahun di Lampung Disetubuhi Kakek dan Ayah Kandung Hingga Kondisinya Mengenaskan

Ia lalu menatapku dalam-dalam, seraya mengucapkan mantranya, "Walaupun mereka berbeda, mereka memiliki kesamaan, sama-sama berpikir bahwa kamu adalah produk gagal, anakku yang malang. Kamu mengerti apa yang ayah bicarakan. Namun, mereka berpikir bahwa aku sedang berkhayal karena berbicara denganmu, produk gagal."

Entah kenapa, saat itu tidak ada rasa sakit di hati ini. Karena setiap ia bercerita, kemudian mengucapkan mantranya itu, ia menjadi orang yang paling bahagia yang pernah aku tahu. Ia sangat bersemangat dan terlihat sangat ekspresif. Aku sangat menyukai wajah keriput yang sudah lama tidak tergurat senyum kebahagiaan itu.

Anaknya Susah Payah Mau Ketemu, Nikita Mirzani Malah Sebut Lolly Bikin Keruh Suasana

Waktu berputar dan entah sejak kapan aku mulai menginjak usia wajib untuk mencicipi bangku pendidikan formal. Aku dan teman-teman angkatanku mendapatkan kelas khusus dikarenakan jumlah kami yang hanya ada 10 anak di sekolah yang kelas pemulanya berjumlah 4 ruang. Seluruh staf pengajar dan kakak-kakak kelas kami memperlakukan kami dengan “khusus” pula.

Pada tahun pertama, setiap upacara bendera kepala sekolah akan menyampaikan prasangkanya telah dipermalukan oleh angkatan kami. Karena aku dan kesembilan orang teman seumuranku, nama baik sekolah yang ia pimpin ini menjadi rusak. Setelah upacara, biasanya kakak-kakak kelas akan menjalankan ritual “khusus”nya pada kami dengan disaksikan para staf pengajar dan pegawai di sekolah itu.

Tak Kunjung Ketemu dengan Nikita Mirzani, Lolly Singgung Memperbaiki Diri

Tidak ada yang berani melapor, karena kami tidak punya siapa-siapa selain diri sendiri. Ketika kami mengadukan apa yang telah kakak kelas kami lakukan, respon yang kami dapatkan sama, tidak ada tanggapan dan tindak lanjut. Akhirnya, kami hanya bisa bercerita satu sama lain. Menanggung perlakuan “khusus” ini bersama-sama.

Dari sepuluh anak di angkatanku ini, tujuh orang adalah laki-laki sedang sisanya perempuan. Perlakuan “khusus” mereka akan naik tingkat setiap ujian akhir kelas kami selesai. Aku ingat, saat itu ujian akhir pertama yang kami lewati. Dengan berharap-harap cemas akankah kami naik ke tingkat lanjut atau tetap di tingkat pemula, tiba-tiba dari ujung koridor segerombolan kakak kelas perempuan menghampiri kami yang sedang duduk di depan mading sekolah, tempat pengumuman ditempelkan.

Kelimabelas kakak-kakak perempuan itu menyeret kami ke belakang gedung sekolah, tempat kebun sekolah berada. Tempat terbuka paling luas yang ada di sekitar area sekolah. Para murid lelaki dicekoki suatu cairan bening yang ditampung di wadah kaca berwarna hijau. Ada yang sampai muntah-muntah, kemudian disuruh meminumnya lagi. Sedangkan murid-murid perempuan dipegangi menghadap para murid lelaki yang dicekoki itu, dan jika ada yang memalingkan wajah, mata murid tadi diselotip hingga ia tak dapat mengedipkan kelopak matanya. Dipaksa melihat, meskipun tidak mau.

Dua puluh menit berlalu dan kami pun selalu ditinggalkan begitu saja. Sisa isak tangis masih tergurat, hela napas tak beraturan masih terdengar, racauan sumpah serapah mengutuk takdir terdengar bersahut-sahutan, hingga akhirnya kami pun menenangkan satu sama lain, membenarkan letak baju, rambut, dan lain-lain. Kami berpura-pura tidak terjadi apapun dan kembali ke dalam kelas. Meskipun sudah menjadi rahasia umum, pasti terjadi sesuatu terhadap kami setiap kali kami kembali ke kelas.

Tahun berlalu begitu cepat, hingga tak terasa akhirnya kami mendekati tahun-tahun kelulusan. Namun, sesuatu yang tak berubah adalah ayah yang semakin sering bercerita tentang orang timur dan tengah. Ibuku tidak pernah mengajakku berbicara tetapi selalu melakukan apa yang seharusnya seorang ibu lakukan, mengasihi dan menyayangi anaknya sepenuh hati.

Aku dapat merasakannya di dalam setiap tindakannya terhadapku, meski ibu tak pernah berbicara kepadaku. Kata ayah, ibu itu orang Tengah dan ayah orang Timur. Harusnya aku bersyukur masih diajak ngobrol oleh beliau, bukannya menanyakan tentang ibu yang tak mau berbicara padaku. Lambat laun, kebencian yang ia tanamkan dalam setiap ceritanya mulai mempengaruhiku. Aku mulai membenci beliau setiap kali ia menceritakan tentang orang timur dan orang tengah.

"Kenapa harus ada perbedaan?" ucapku menyela. Aku takut beliau marah, maka kutundukkan pandangan. Ia diam, mengatur napas. Seolah terkejut dengan sikapku yang menyela ceritanya. "Mungkin bagimu dunia ini adalah abu-abu, di dalam segala hitam terdapat sebagian putih, dan di dalam segala putih terdapat sebagian hitam. Namun, berbeda denganku. Ayah rasa, dunia ini hanyalah sekelebatan peristiwa hitam dan putih. Keduanya berlangsung bersamaan, beriringan, tetapi tidak melebur."

Di sela-sela pembicaraan, ibu datang dan meletakkan secangkir teh hangat di depan ayah dan seteko sisanya di depanku. Ayah mencium harum aroma melati yang semerbak keluar dari teh seduhan ibu. Kemudian ibu mengusap kepalaku seraya berkata, "Tahun ini, jika kamu berhasil lulus dari sekolah itu, ibu janji akan membawamu ke kampung halaman ibu dan ayah. Ibu akan mempertemukanmu dengan kakek."

"Aku ini orang Timur!" potong ayah dengan nada tinggi. Ibu melihat ayah dengan tenang seraya mengusap-usap kepalaku. Ia tidak menyuruhku masuk, meskipun tanpa disuruh aku akan melakukannya dengan senang hati. Aku tidak pernah melihat ayah berbicara dengan nada tinggi. Suasana ini sungguh tidak mengenakkan hati. "Kau tahu kenapa ada perbedaan orang Timur dan orang Tengah, tetapi mereka masih memiliki kesamaan dalam hal kebencian? Kenapa sampai ada kebencian terhadap sesuatu yang berbeda dari suatu kelompok? Kenapa sampai jumlah perbedaan yang dibenci itu hanyalah 10 persen dari penduduk semesta ini?" ucap ibu seraya memegangi bahuku, komando untuk tidak berpindah ke ruangan lain.

Ia menatapku, kemudian mengalihkan pandangannya pada ayah. "Karena orang-orang sepertimu, yang mengaku sebagai orang Timur, tumbuh besar dan beranak pinak disini. Padahal kita sama-sama tahu, di dalam tubuhmu itu mengalir darah orang-orang Tengah yang tiap setahun sekali kau kunjungi. Dan dengan lantang kau bersorak, “Aku kembali, duhai kampung halamanku!' seraya menyalami seluruh anggota keluargamu dan bertukar rindu dengan mereka. Namun, ketika kembali ke sini, kau menjelek-jelekkan mereka. Menikam mereka dari belakang! Pengec..."

"CUKUP!" kepulan asap dari teko teh perlahan menghilang. Sunyi merambati kami bertiga. Roda-roda prasangka mulai berputar di dalam benak kami masing-masing. Deru-deru nafas memburu mulai diatur oleh pemiliknya. Aroma melati menyelimuti ruangan bersamaan dengan dituangnya teh dari dalam teko ke dalam masing-masing cangkir. Ibu kembali tenang, sementara ayah hanya memandangi cangkir teh yang ia pegang.

"Ibu, kenapa harus ada perbedaan?" tanyaku. Ibu menatapku, sementara ayah perlahan-lahan menempelkan pinggiran cangkir yang ia pegang ke bibirnya dan menyesapnya perlahan. "Karena ketidaktahuan membawa jarak. Jarak itu kadang berganti-ganti nama. Kadang namanya keyakinan, pemikiran, kesukaan, pilihan, kecenderungan, macam-macam namanya. Tetapi satu hal yang pasti, mereka itu sama.

Sama-sama membawa sekat pemisah bernama perbedaan. Karena tidak tahu, kadang kita tidak ingin mengurusi. Karena tidak tahu, kadang kita tidak ingin ikut campur. Karena tidak tahu, kadang kita malas untuk sekedar berpikir ‘kenapa aku tidak tahu'. Kemudian karena ketidaktahuan tersebut, muncullah prasangka. Yang kemudian berubah menjadi kebencian. Lambat laun, kebencian itu akan memakan pemiliknya. Hingga saat sang pemilik tersadar, bahwa ia perlahan berubah menjadi sosok yang ia benci, ia tidak dapat berbuat apapun selain merelakan dirinya termakan oleh kebenciannya sendiri."

"Apa tidak ada cara menolong mereka yang termakan kebencian mereka sendiri, bu?" Ibu menggeleng perlahan seraya memalingkan wajah. "Ibu tahu, ibu sudah dengar ceritanya. Sekolah yang kau masuki itu benar-benar kejam. Kakak-kakak kelasmu yang seharusnya membimbingmu dalam memahami segala hal yang tidak diajarkan oleh para guru. Adik-adik kelasmu yang seharusnya menaruh rasa segan kepadamu dan berbagi ilmu dengan angkatanmu. Lalu guru-gurumu yang seharusnya mengajarimu pengetahuan yang kamu perlukan untuk bekalmu esok. Maaf Nak, ibu tidak tahu harus berbuat apa. Kepala sekolah tidak mengizinkan ibu untuk memindahkanmu ke sekolah yang lebih manusiawi. Selama ini ibu tak kuasa jika harus berbicara padamu. Ibu takut jika engkau akan membenciku karena telah mendaftarkanmu ke sekolah itu. Ibu pun tak tahu harus berbicara apa padamu." Ia kemudian memelukku dengan erat, seolah menghimpun kekuatan.

Ayah tertegun dengan kejadian itu. Aku pun sama kagetnya dengan ayah hingga tak tahu harus berbuat apa. Aku seolah sebatang kayu, kaku dan dingin didekap oleh ibu yang napasnya tersenggal-senggal dan berbisik, "Ada satu cara untuk menolong mereka yang termakan kebencian mereka sendiri, yaitu dengan cara memutus lingkaran kebencian." ucapnya pelan. "Maksud Ibu?" tanyaku lagi. Pelukannya mengendur, wajah kami saling berhadapan. Cengkraman tangannya mulai mengendur di kedua bahuku. Ia lalu memangku tangannya dan menatap Ayah.

Ayah meletakkan cangkir, bersiap untuk pergi ke ruangan lain. Suasana semakin canggung. Aku merutuki keputusanku untuk bertanya tadi. Saat ayah membalikkan badannya, ia memberi kode pada ibu untuk melanjutkan aktifitas sore harinya,memasak. "Anakku, kebencian itu diajarkan. Satu-satunya cara untuk memutus lingkaran kebencian adalah pasang badan untuk menerima segala kebencian, tetapi tidak menyalurkannya. Kamu terima seluruh kebencian itu, membiarkan mereka merasuk ke dalam tubuhmu dan menggerogoti nurani dan akal sehatmu! Demi orang lain yang tidak kamu kenal, supaya mereka tidak pernah tahu apa itu benci. Dan pada akhirnya, tidak ada yang tahu apa itu kasih." lanjut ibu seraya berjalan menuju dapur.

"Seperti yang ayah bilang, bagiku hidup ini hanyalah serangkaian peristiwa hitam dan putih. Mereka berjalan beriringan. Namun tidak pernah bercampur." Punggung itu benar-benar menghilang dari ruangan ini, diikuti oleh suara pintu kamar yang menutup beberapa saat kemudian. Ingin rasanya aku menganggap bahwa kejadian hari ini adalah mimpi. Mimpi buruk.

Setelah kemarin sore aku mendapat kejutan bahwa ternyata ibu mau berbicara denganku tetapi tidak tahu harus berbicara apa, siang ini sepulang dari sekolah aku melihat pengumuman kelulusan dan mendapat perlakuan “khusus” terakhir dari mantan kakak kelas dan dari adik-adik kelas. Aku mendapati satu album kliping di ruang tamu. Ayah menyodorkannya padaku dan menyuruhku membacanya.

Hari ini tidak ada lagi cerita tentang orang Timur dan orang Tengah. Kliping itu bersampul merah, dengan tulisan hitam kapital dan berbayang putih. "GENERASI YANG HILANG" di dalamnya terdapat kliping tentang perang antar warga Timur dan warga Tengah. Perang saudara berkepanjangan itu menyebabkan turunnya populasi manusia dari kubu Timur maupun kubu Tengah. Tidak ada regenerasi.

Hingga 3 tahun kemudian, dari kedua belah pihak ada generasi baru. Namun, generasi penerus ini tidak tahu apa-apa, karena mereka lahir di daerah perang. Yang mereka tahu, satu-satunya cara berkomunikasi, menyampaikan perasaan dan pendapat, dan lain sebagainya adalah dengan berperang. Hingga 5 tahun lamanya mereka tidak memiliki regenerasi baru.

Kemudian ada seorang warga Tengah yang menculik seorang bayi dari warga Timur dan dibalas oleh warga Timur. Hingga seluruh generasi warga Timur menjadi warga Tengah, dan sebaliknya. Dari kejadian itu, kedua belah pihak sepakat berdamai sampai waktu yang tidak ditentukan. Para tetua warga sadar bahwa apa yang mereka lakukan ini mengakibatkan luka untuk generasi yang akan datang. Perang ini tidak dipublikasikan media manapun. Selain karena daerah kami memang jauh dari jamahan media massa, perang ini adalah suatu aib, baik untuk daerah Timur maupun daerah Tengah.

Tidak ada cerita turun temurun tentang kebanggaan membunuh sesama saudara, seperti yang terjadi pada perang-perang pada umumnya yang memiliki kisah dan rekam jejak peristiwanya. Namun, sebagian warga masih menyembunyikan dendam mereka. Di balik selimut, setiap malam mereka bergerilya dan mengeksekusi para tetua di daerah masing-masing. Menimbulkan prasangka yang hinggap di setiap jendela rumah dan membisikkan kisah-kisah palsu untuk memunculkan dendam.

Sampai pada saat para eksekutor itu tertangkap basah akan mengeksekusi tetua daerah Tengah yang terakhir. Disaksikan seluruh warga Timur dan Tengah, kelimabelas eksekutor itu digiring menuju alun-alun daerah Timur. Tetua daerah Tengah bersuara lantang bahwa apa yang mereka lakukan memang salah, tetapi bukan berarti kita harus mengulangi perang yang sama untuk kedua kalinya. Ia sudah lelah melihat tangis kehilangan, ratapan sumpah serapah, dan ucapan-ucapan benci yang terlontar setiap kali perang dimulai. Ia tidak ingin para eksekutor itu diberi hukuman seperti apa yang mereka lakukan terhadap teman-teman tetua.

Ia dan teman-temannya sudah mengetahui resiko ini, jauh sebelum mereka mengumumkan perjanjian damai. Mereka berani mengambil resiko untuk perubahan yang katanya membawa harapan. Satu-satunya hukuman yang harus dijatuhkan untuk mereka adalah diusir dari daerah Tengah dan Timur. Dan pada saat tetua memerintahkan mereka untuk melepas topeng yang mereka gunakan, betapa terkejutnya warga bahwa mereka adalah kawan mereka sendiri, para pahlawan perang dari daerah Tengah dan daerah Timur. Ada luka tak terlihat dari kedua belah pihak.

Setelah kelimabelas orang itu diusir dari daerah kami, baik orang Timur maupun orang Tengah tidak ada satu pun yang berusaha membangun komunikasi. Tidak ada kisah di Timur tentang orang Tengah, maupun kisah orang Timur di daerah Tengah. Semua senyap, seolah kedua daerah yang terpisahkan oleh hutan yang jarak tempuhnya 20 menit itu tinggal sendiri di sisi hutan masing-masing.

Dua puluh lima tahun berlalu, kelimabelas orang itu kembali dalam keadaan sepuh ke daerah masing-masing. Tidak ada satupun dari mereka yang mengenali daerahnya ataupun dikenali di daerah masing-masing. Mereka menanyakan daerah tetangga, dan dianggap gila. Hingga akhirnya mereka berhasil membawa lima perwakilan warga untuk melihat daerah tetangga. Reuni itu, kali ini tanpa dendam, tanpa senjata. Kelimabelas orang itu berkumpul dalam haru. Disaksikan oleh kesepuluh perwakilan warga yang terkejut mengetahui fakta bahwa mereka bertetangga.

Kesepuluh perwakilan warga itu kemudian diberi oleh-oleh berupa kisah kelam mereka di masa lalu dan mereka diminta untuk merahasiakannya, karena hal itu adalah aib untuk kedua belah daerah. Di akhir hayat mereka berlimabelas, sudah terbangun komunikasi antar warga Tengah dan warga Timur. Mereka menjadi daerah yang bersimbiosis mutualisme.

Hingga saat ini, meskipun sempat beredar rumor tentang peristiwa perang kedua daerah, namun hanya sebagian warga saja yang percaya. Sebagian besar warga menganggap bahwa perang tersebut mitos. Akhirnya, kelimabelas orang itu meninggal dan terkubur bersama aib yang telah mereka guratkan di sejarah orang-orang Timur dan Tengah.

Selesai membaca, aku menyerahkan kliping itu kembali pada ayah, "Ayah, aku lulus. Kapan kita akan mengunjungi kakek dan nenek?" tanyaku. "Secepatnya," jawabnya. Ia pun kembali tersenyum seraya berlari ke arah dapur memanggil-manggil ibu dan mengabarkan bahwa aku lulus. (Cerita ini dikirim oleh Sylndr, Surabaya)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya