Ini Aku, Seorang Anak yang Selalu Berusaha

Ilustrasi
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Hari ini, tepat tanggal 1 April 2016, akhirnya aku tahu apa yang ada di dalam pikiran orangtua dan keluargaku. Hum, rasanya mungkin orang-orang sudah bosan akan cerita yang aku ketik dan kirim ke forum ini (VIVA.co.id). Semuanya tentang aku, keinginanku yang ingin menjadi penulis, dan penentangan terhadap masa depan yang aku inginkan.

Perjuanganku untuk Jadi Seorang Penulis Tidak Akan Berhenti

Aku bermaksud untuk meminta uang kepada orangtuaku karena aku ingin berobat ke dokter gigi sebelum sakit ini menjadi berkepanjangan. Namun, aku malah harus dihadapi pada sikap mereka yang mungkin bisa dibilang sungguh-sungguh egois. Mereka mengungkit masa laluku ketika aku pertama kali menjajaki dunia teknik sipil. Aku memang paling suka mengungkit masa lalu, tapi kalau masa lalunya kelam, aku tidak suka.

Oomku memarahiku dengan keegoisan yang ada di dalam otaknya, kenyataan dan fakta yang salah tentang aku dan keinginanku, dan akhirnya orangtuaku pun mengungkit tentang sifat burukku yang selalu meminta uang kepada mereka. Aku memang masih selalu meminta uang pada mereka, tapi tidak sering-sering, hanya saat ketika aku sedang butuh. Itupun untuk berobat, membeli obat, dan makan sehari-hari.

Restu Ibu dan Nenek dalam Jalanku Meraih Sukses

Namun, mereka selalu salah paham. Mereka pikir aku berfoya-foya dengan uang yang aku minta dari mereka. Main warnet, games, keluyuran ke sana kemari dan pergi jalan bersama teman, sahabat, ataupun pacar. Aku ingin bekerja untuk menghasilkan uang dengan usahaku sendiri, namun aku selalu ditolak dengan alasan, “Maaf, kami sedang tidak butuh karyawan.” Padahal di depan pintu tertulis, “Dibutuhkan karyawan laki-laki”.

Aku sadar kenapa aku selalu tidak diterima bekerja di suatu kantor, kafe, dan restoran. Bahkan di rumah makan saja aku ditolak. Kenapa? Aku jelek. Miris, zaman sekarang kerja harus memandang fisik ternyata. Sebelumnya aku kuliah, mungkin kalian sudah ada yang tahu kalau saja kalian sudah membaca kisahku sebelumnya yang sudah aku kirimkan sebelumnya (Kebodohanku mengikuti kemauan keluarga). Aku tidak mau mengungkitnya, sungguh itu membuatku menangis dan merasa ingin bunuh diri.

Menjadi Penulis adalah Cita-citaku sejak Dulu

Mereka menyalahkanku terus. Aku berusaha membela malah dibilang menjawab. Yah, namanya juga orangtua, tidak boleh dilawan ataupun dijawab. Kalau dijawab, malah dibilang “masuk telinga kanan keluar telinga kiri”, serba salah ya. Aku tidak punya teman yang bisa diajak kerjasama karena teman-temanku lebih mementingkan dirinya sendiri, apalagi kalau soal pendidikan. Hum, itukah teman?

Aku punya sahabat, tapi mereka sedang kuliah di luar kota. Aku jadi tidak bisa minta tolong karena mereka jauh. Kini aku hanya pasrah akan keadaan. Dengan kondisi badanku yang tidak baik, sakit di dalam tapi kelihatan sehat di luar. Keluargaku pun rasanya sudah tidak akan peduli lagi padaku. Yang aku tunggu sekarang ada dua. Cerita yang sudah aku kirim ke penerbit dianggap bagus, lalu dicetak, dan setelah itu diterbitkan. Aku ingin orang-orang tahu akan susahnya kehidupan seorang pria yang bernama Ridho Adha Arie untuk meraih kesuksesan.

Penentangan keluarga, orangtua, tidak punya teman, sahabat yang mencari ilmu di luar kota, sungguh keras hidupku ini. Semoga saja Allah SWT memberikan yang terbaik untuk aku, sekalipun itu aku harus mati sebelum merasakan kesuksesan sebagai seorang penulis, bertemu sang idola, melihat Monas, menjadi mahasiswa sastra Bahasa Indonesia di salahsatu universitas yang terkenal, baik di Jawa ataupun Sumatera pun tak apa. Sungguh miris kehidupanku jika aku ungkapkan dan membuka semua aib keluargaku. Namun, aku berterima kasih pada mereka yang sudah memilihkan hal yang terbaik buat aku dan masa depanku. (Cerita ini dikirim oleh Ridho Adha Arie)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya