Jangan Lupa untuk Bahagia

Ilustrasi bahagia
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Jangan lupa bahagia. Kalimat itu saya dapat dari status facebook teman beberapa hari yang lalu. Enggak ada yang kasih jempol dan enggak ada yang comment, tetapi entah kenapa cukup membekas di pikiran saya. Gara-gara baca status itu saya jadi berpikir, kapan ya terakhir saya merasa bahagia?

5 Makanan yang Bisa Menurunkan Kadar Gula Darah untuk Penderita Diabetes

Menurut saya ada perbedaan antara kondisi dimana kita merasa sangat senang sekali dengan kondisi dimana kita merasa bahagia. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat momen yang membuat saya merasa bahagia. Saat masih kecil, saya pernah merasa bahagia sekali yaitu saat ibu saya membelikan mainan Lego yang sudah lama saya idam-idamkan. Beranjak ke remaja, saya pernah merasa bahagia sekali ketika saya iseng-iseng nulis terus hasil tulisan saya dimuat di koran dan dikasih honor 250 ribu.

Tapi seiring berjalannya waktu, hal yang awalnya membuat saya merasa bahagia lama-lama berubah menjadi tahap sangat senang sekali dan akhirnya masuk ke tahap biasa saja. Apalagi kalau hal tersebut terjadinya secara berulang, ya saya jadi semakin merasa biasa saja. Iya, biasa saja karena kadar bahagianya sudah berkurang karena berulang terjadi.

5 Rekomandasi Makanan Sehat untuk Penderita Darah Tinggi, Sayuran Hijau Paling Wajib

Saya punya teman namanya Gatot. Dalam satu minggu saya sering sekali mampir ke tempat kos-nya yang kebetulan dekat dengan kampus. Kalau ditanya ngapain saya ke kos si Gatot, jawabannya adalah tinggal tambahkan kata 'numpang' di kata-kata berikut ini: (numpang) tidur, (numpang) makan, (numpang) toilet, dan numpang-numpang yang lain. Bahkan, kalau lagi kemalaman biasanya saya nginep di kos si Gatot ini.

Suatu hari ketika saya sedang berkunjung, si Gatot tampak lagi bete parah. Mukanya tampak kuyu kayak habis dicopet di angkot. Kalau ditanya juga jawabannya awur-awuran. Setelah saya desak-desak nanya kenapa dia bete, dia cerita kalau dia lagi bete gara-gara sepatu Converse asli yang baru dia beli seharga 600 ribu hilang di masjid pas lagi shalat Jum’at. Ketika saya dengar cerita itu, aslinya saya ingin ketawa ngakak. Bisa-bisanya sepatu Converse dicuri, malingnya pasti tahu barang bagus nih.

10 Kebiasaan yang Membuat Karyawan Bahagia di Tahun 2024 Menurut Analisis

Tapi menurut saya ada juga unsur kelalaian dari si Gatot. Ngapain juga shalat Jum’at pakai sepatu bagus. "Gue doain orang yang nyuri sepatu Converse gue jempolnya nempel sama sepatu gue yang dicuri," kata si Gatot sambil corat-coret sepatu Converse dia yang lama. Pas saya perhatiin ternyata dia lagi nulis "Cepat lulus ya Tot" di sepatu Converse dia yang lama. Alasan dia corat-coret sepatu biar kelak sepatu dia tidak dicuri lagi kalau sedang Jum’at-an di masjid. Maling tentu akan berpikir dua kali kalau mau nyuri sepatu yang sudah dicorat-coret model begitu.

"Gue boleh bantu corat-coret di sepatu yang sebelah kanan?" tanya saya. Akhirnya sambil asyik dengerin si Gatot cerita, saya tulis pake spidol di tepi sepatu itu, "Mampus lu Tot, hilang sepatu" dan pas dia baca tulisan saya komentarnya cuma satu, "Jahat banget lu, San!" Hahaha.

Sementara Gatot masih asyik corat-coret, saya tiduran sambil baca buku Inferno-nya Dan Brown yang baru saya beli. Keadaan hening karena masing-masing punya kesibukkan sendiri. Tidak berapa lama terdengar suara chat masuk di ponsel Gatot. Dan Gatot yang tadinya kelihatan bete habis langsung bersorak kegirangan penuh suka cita seperti baru mendengar sangkakala dari surga. Saya pikir mungkin isi chatnya begini, "Selamat Sdr Tri Gatot, anda memenangkan hadiah berupa kapal pesiar dari program undian bank," tapi tahunya bukan. Isi chat-nya cuma, "di mana?" tapi yang ngirim adalah gebetan si Gatot.

Saya yakin kalau yang nanya "di mana" itu ibunya si Gatot dia enggak bakalan penuh suka cita kayak gitu tetapi karena yang kirim kecengannya, lonceng surgawi seolah bergema untuk Gatot. Dia nunjukkin hp-nya ke gue sambil tertawa bahagia. Rasa kesal gara-gara sepatu dicuri langsung berganti dengan kebahagiaan. Tidak lama setelah itu, dia langsung cuci muka sambil ganti baju bagus. Jam sebenarnya sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi buat seorang Gatot malam hari bukanlah sebuah halangan ketika seorang gadis yang kita sayangi ngajak ketemuan. "San, gue pergi dulu ya. Kalau lu mau nginep, kuncinya lu simpen dibawah karpet ya. Jangan lupa tutup gorden kamar juga. Di bawah rak ada biskuit. Kalau mau, abisin aja," pesannya sebelum pergi. “Ish dari tadi gak ditawarin biskuit, giliran seneng baru deh ditawarin,” umpatku dalam hati.

Meski tidak secara ekspilisit diungkapkan, saya tahu kalau Gatot itu sedang bahagia. Iya, bahagia. Saat orang merasa bahagia, semua unsur negatif yang sebelumnya ada dalam diri kita untuk sesaat pasti langsung berganti dengan hal-hal positif yang membuat kita bahagia. “Ah, kapan ya terakhir saya merasa bahagia kayak si Gatot?” Sepertinya yang saya rasa akhir-akhir ini masih dalam tahap senang sekali belum mencapai level bahagia.

Besoknya setelah pulang dari kos Gatot, Ibu saya ngabarin kalau magic jar di rumah rusak jadi susah kalau mau bikin nasi putih. Biasanya sih masalah seperti ini akan di atasi oleh kakak, tetapi karena kakak saya saat itu lagi tidak ada akhirnya saya berinisiatif mengajak ibu saya untuk membeli magic jar baru. Setelah memilih magic jar, saya traktir ibu makan di Ampera, karena ibu saya paling senang makan di Ampera. Sambil makan, kita cerita-cerita banyak hal dan tanpa sadar ada kebahagiaan tersendiri saat melihat ibu saya merasa senang.

Sepulang berbelanja, di jalan saya melihat ada kakek tua yang sedang berjualan ikan. Saya kemudian menepi dan membeli ikan si kakek, padahal saya sendiri tidak punya kolam atau akuarium di rumah. Saya beli 20 ribu dan ketika saya membelinya si kakek terlihat bahagia sekali. Dia berulang kali bilang terima kasih sampai saya merasa tidak enak. Ibu saya juga bingung buat apa saya beli ikan karena dia yakin ikan-ikan ini pasti bakalan jadi almarhum keesokan harinya.

Ya, kalau ditanya kenapa saya beli ikan, jujur karena saya cuma kasihan saja sama si kakek tua itu. Sesampainya di rumah, saya merebahkan diri di atas kasur. Mata saya menerawang ke sekitaran kamar. Saya menatap poster Star Trek dengan tatapan kosong sambil kembali bertanya ke diri saya sekali lagi, "Kapan ya terakhir kali saya merasa bahagia banget?"

Tiba-tiba saya teringat bagaimana bahagianya si Gatot gara-gara diajak jalan sama kecengannya. Saya juga jadi keingetan bagaimana bahagianya ibu saya pas tadi makan bersama, dan tidak lupa betapa bahagianya si kakek penjual ikan ketika saya membeli ikannya. Mungkin, di detik ini saya sedang merasa bahagia. (Tulisan ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya