Guru Sebagai Pembangun Moral Anak Bangsa

Ilustrasi Guru Honorer.
Sumber :
  • naszeblogi.pl

VIVA.co.id - Akhir-akhir ini, masih banyak kita temui para pelajar yang berkeliaran pada jam-jam sekolah di jalanan kota besar. Mereka berkelompok, sekedar duduk, merokok, ataupun bergurau seakan-akan lupa untuk apa mereka berseragam pada hari itu. Lebih memprihatinkan dari sekedar kongkow, beberapa dari mereka mungkin sedang bersiap untuk sebuah pertempuran yang mengatasnamakan solidaritas.

Kasus tawuran, pelecehan seksual, dan tindak kriminal lainnya yang melibatkan anak-anak usia sekolah silih berganti menghiasi layar kaca kita. Tak henti-hentinya kita beristighfar melihat kelakuan pelajar masa kini. Mereka yang terlibat bahkan bukan hanya pelajar dari sekolah menengah tetapi juga sekolah dasar.

Berdasarkan laporan Komnas Perlindungan Anak Indonesia, dari sembilan pengelompokan pengaduan yang masuk ke KPAI, kasus anak berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) menempati posisi paling tinggi pada tahun ini. Kasus tersebut meliputi kasus pencurian, narkoba (pengguna), pelecehan seksual, pembunuhan, penggunaan senjata tajam, perkosaan, dan miras. Sampai dengan April 2015, ada lebih dari 6.000 kasus pengaduan anak berhadapan dengan hukum. Jumlah ini meningkat sekitar 47% dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 2879 kasus.

Sungguh ini adalah tamparan yang keras bagi kita semua. Anak-anak usia produktif yang seharusnya sedang dipersiapkan untuk membangun bangsa malah sudah layu sebelum berkembang karena harus berhadapan dengan meja hijau atau berada di balik jeruji besi.

Merosotnya moral anak bangsa adalah tanggung jawab semua pihak. Keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan pemerintah adalah pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam hal ini.

Keluarga sebagai tempat pembentukan karakter anak yang utama berarti tempat dimana seorang anak pertama kali diajarkan nilai-nilai dalam kehidupan. Sementara itu, pendidikan moral yang dilakukan di sekolah dan lingkungan tempat tinggal adalah  komplemen bagi pendidikan moral di rumah. Meskipun hanya sebagai komplemen, jika semua pihak dapat bersinergi dengan baik, tentu saja perbaikan pada moral anak bangsa dapat menjadi kenyataan.

Dalam keluarga, orang tua memberikan kasih sayang, mengajarkan agama, menanamkan pondasi akhlak pada anak dan perannya tak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Dengan adanya pondasi nilai-nilai kehidupan yang kuat, seorang anak diharapkan dapat menentukan sikap dalam pergaulan sehari-hari di masa yang akan datang.

Setelah anak cukup usia, maka anak-anak akan bergabung dalam dunia sosial, baik di lingkungan tempat tinggal maupun sekolah. Di sinilah mereka akan melakukan sosialisasi. Pada fase ini, bekal nilai-nilai kehidupan dari keluarga haruslah kuat agar tidak tergoyahkan oleh lingkungan sekitar yang sifatnya sangat dinamis. Kontrol dari orangtua pun harus tetap dilakukan agar perkembangan kepribadian anak berjalan dengan baik.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Meskipun pendidikan moral terkesan terkotak-kotak (terjadi di rumah, lingkungan tempat tinggal, maupun sekolah), namun sebenarnya semuanya saling beririsan pada satu tujuan yang sama, yaitu menanamkan nilai-nilai kehidupan pada anak.

Di sisi lain, pendidikan moral di rumah, lingkungan, maupun sekolah tidak akan berjalan dengan lancar tanpa ada peran serta dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang utama. Salah satu bentuk peran pemerintah adalah membuat suatu kebijakan yang mendorong semua pihak untuk turut serta dalam membangun moral anak bangsa, termasuk di dalamnya adalah pendidikan sekolah.

Pemerintah sebenarnya telah menghadirkan sebuah pembaharuan dalam dunia pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yaitu dengan melahirkan kurikulum 2013. Pada kurikulum ini, pendidikan karakter terintegrasi pada semua mata pelajaran, tidak hanya pada pendidikan agama dan kewarganegaraan saja. Salah satu sisi positif penerapan kurikulum ini, semua guru mata pelajaran wajib menyisipkan nilai-nilai kehidupan dalam kegiatan pembelajaran.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, dalam penerapannya di lapangan ternyata banyak ditemui kendala, diantaranya adalah sistem penilaian yang begitu rumit. Oleh karena itu, implementasi kurikulum 2013 harus berhenti di tengah jalan dan hingga kini masih dalam proses peninjauan ulang oleh pemerintah.

Terlepas ada atau tidaknya aturan tertulis untuk mendidik moral anak di dalam kelas pada kurikulum yang sedang kita anut, penanaman nilai-nilai kehidupan harus tetap dilakukan. Mendidik pada hakikatnya adalah jiwa seorang guru. Tak ada seorangpun pengajar bisa disebut guru sebelum ia mendidik anak dengan memberikan sentuhan nilai-nilai kehidupan dalam keseharian di sekolah.

Guru adalah profesi terpenting di dunia ini. Tidak akan ada dokter, arsitek, akuntan dan profesi lainnya jika tidak ada seorang guru. Oleh karena itu, ketika guru telah berhasil memposisikan dirinya sebagai seorang pendidik (bukan hanya seorang pengajar yang mentransfer pengetahuan), maka apapun profesi anak didiknya kelak, mereka akan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dalam kehidupan.

Guru juga adalah sebuah pekerjaan Tuhan. Sebab darinya para peserta didik akan diajarkan sifat-sifat Tuhan. Mereka dididik untuk menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, saling menghargai, saling memafaakan serta sifat-sifat terpuji lainnya. Mulialah para guru yang mendidik begitu banyak anak bangsa.

Dalam mendidik, guru pasti menemui banyak kendala. Kendala tersebut dapat berasal dari faktor eksternal, misalnya kesibukan para guru berkaitan dengan tuntutan kurikulum, serta faktor intenal yaitu ada atau tidaknya kemauan untuk mendidik para siswa.

Seorang guru tentu sangat memahami bahwa tuntutan materi kurikulum yang harus diselesaikan dalam satu tahun sangatlah banyak. Dengan jumlah alokasi tatap muka yang sangat terbatas dalam sepekan tentu saja akan membuat para guru memutar otak agar seluruh konten pengetahuan dapat ditransfer dengan baik kepada para murid.

Apalagi jumlah jam mengajar mereka pun tak kurang dari 24 jam dalam sepekan. Ibarat robot, mungkin mereka adalah robot tercanggih di abad ini.Kesibukan-kesibukan seperti ini juga berpengaruh terhadap kinerja guru dalam memberikan pendidikan moral, sebab sebagian guru masih menilai pendidikan konten pembelajaran adalah yang utama dan pendidikan moral hanyalah tambahan saja.

Selain itu, penghargaan atas profesi guru di Indonesia belum sebaik di negara-negara lain, terutama bagi guru-guru honorer. Atas dasar ketimpangan ini, terkadang guru enggan repot-repot untuk mendidik anak dengan penanaman nilai-nilai kehidupan. Padahal nilai-nilai kehidupan ini tak kalah pentingnya dengan konten materi pembelajaran.

Meskipun begitu, tak sedikit juga kita bisa temui guru-guru honorer yang bahkan berada di daerah terpencil dan terluar yang tetap berkomitmen menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak bangsa.

Jika guru terus-menerus berorientasi pada penguasaan kompetensi pengetahuan saja atau berpandangan bahwa mendidik hanya sebatas timbal balik materi yang didapatkan, apalah jadinya anak-anak bangsa ini di masa mendatang. Kalau  bukan para guru, siapa lagi yang akan peduli pada moral anak bangsa. Bangsa ini adalah bangsa kita, tumpah darah dan tanah air kita. Tempat kita menaruh harapan masa depan bagi anak cucu kita. Mana mungkin kita membiarkan anak-anak tumbuh tanpa kontrol sikap yang baik.

Guru harus mampu mengubah paradigma dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Guru tidak boleh terjebak pada rutinitas mengajar pengetahuan saja, tetapi harus juga mampu menyisipkan pesan-pesan moral dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, guru juga sebaiknya memiliki sumber-sumber penghasilan lain selain dari mengajar di sekolah. Dengan demikian, mungkin dalam menjalankan tugasnya mereka tidak lagi akan berhitung untung dan rugi.

Begitu besar amanah yang diberikan kepada bapak dan ibu guru, namun balasan pahala dan doa untuk mereka yang bekerja sepenuh hati pasti akan terus mengalir. Seperti kutipan sebuah hadis Nabi bahwa ada 3 perkara yang tidak akan terputus pahalanya meskipun orang tersebut telah wafat,ketiga hal tersebut adalah ilmu yang bermanfaat, shodaqoh jariyah, dan anak yang soleh dan solehah. Oleh karena itu, didiklah mereka dengan hati, maka mereka pun akan berhati. (Tulisan ini dikirim oleh Dwi Septiana, mahasiswa Program Magister Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Jakarta)

Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016