Catatan Penting bagi Bangsa Ini

Upacara bendera SD Negeri Cipaku, Sumedang.
Sumber :
  • John Hendra/tvOne
VIVA.co.id
Edu House Rayakan Harlah ke-8
-
Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq
Ketika suara ayam berkokok mulai terdengar, adzan subuh dikumandangkan, matahari juga akan memancarkan sinarnya, saat itulah Fika bergegas menyiapkan barang-barang berupa pakaian dan sedikit oleh-oleh yang sudah Fika beli sebelumnya untuk dibawa ke kampung halaman karena hari ini liburan sudah tiba.

Fika adalah seorang mahasiswa asal Aceh yang melanjutkan pendidikan di Sumatera Utara. Pukul 09.00 WIB keberangkatan dimulai. Perjalanan Fika dari Sumatera Utara ke daerahnya membutuhkan waktu sembilan jam. Di sepanjang perjalanan, Fika melihat pemandangan yang begitu indah. Tumpukan gunung, hamparan padi dan jagung, serta gemerciknya air di pegunungan. Namun, satu hal yang Fika kecewa adalah aspal yang berlobang dan jurang yang terjal di pinggir jalan membuatnya khawatir akan perjalananya.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Selama di dalam bus Fika selalu berpikir, ‘‘Betapa nyamannya hidup di desa, mandi di sungai sepuasnya, main di sawah menyenangkan, tapi sayang di desa jangkauan jaringan internet masih sangat susah’’. Beberapa Jam kemudian bus berhenti, tepatnya di Merek, Sumatera Utara, untuk istirahat sejenak sambil makan siang. Cuaca yang dingin membuat Fika kedinginan hingga gemetaran tapi pemandangannya sungguh indah, keletihan Fika di perjalanan terbayarkan dengan pemandangan yang sangat menakjubkan itu.

Setelah selesai, perjalanan dilanjutkan kembali. Setelah beberapa jam perjalanan, Fika tertidur dan ia tak menyadari kalau ia sudah tiba di kota asalnya. Hati Fika sedih kala itu, melihat bangunan di kotanya yang jauh tertinggal dengan kota Medan, dan pendapatan masyarakat yang menengah ke bawah membuatnya menangis dan bertekad akan memberikan perubahan di daerahnya.

Di sebuah Desa terpencil yang ditinggali Fika, terdapat gubuk kecil yang ditinggali oleh seorang nenek lanjut usia yang berumur 82 tahun. Ia hidup sebatang kara, tiada lagi satu pun keluarga yang bisa merawat dan menjaganya sebab semua sanak familinya telah tiada, hidupnya bagaikan perahu yang terombang-ambing di samudera yang luas. Hingga suatu hari datanglah Fika ke gubuk itu, Fika sangat prihatin menyaksikan hal tersebut. Sungguh inikah yang namanya merdeka, pikirnya. Lalu Fika berusaha berbincang langsung dengan nenek tua itu dan ternyata namanya Raminah.

Percakapan pun terjadi di antara Fika dan Nek Raminah, “Nenek sudah berapa lama tinggal di gubuk ini?’’ tanya Fika dengan nada sedih. Lalu nek Raminah menjawab, “sejak Indonesia masih di jajah Belanda,’’ jawabnya dengan nada yang sedih dan meneteskan air mata. “Lalu bagaimana keadaan nenek saat dijajah Belanda?’’ tanya Fika lagi. “Waktu itu, nenek dan kawan-kawan nenek sangatlah tidak aman, rasanya bernafas saja susah. Setiap malam Belanda menembakkan peluru mereka ke mana-mana hingga membuat nenek dan warga lainnya tidak bisa hidup tentram. Harta, perhiasan, dan hasil kebun milik nenek dirampas, bahkan kawan nenek ada yang diperkosa,” ucap Nek Raminah dengan tetesan air matanya yang mengalir.

‘‘Lalu bagaimana nenek memperoleh makanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?’’ tanya Fika. Nek Raminah menjawab, “Makanan kami waktu itu tidaklah seperti sekarang, walaupun dulu makanan disediakan oleh alam, tapi bukan nenek yang menikmati hasil panenannya, Belanda lah yang mengambil alih hasil panen tersebut, warga Indonesia hanya bisa memakan dedaunan yang ada di alam,”jawabnya miris.

Meskipun hidup Nek Raminah berada dalam garis kemiskinan, Nenek Raminah tetaplah cinta dan bangga bertanah air Indonesia. Ia mengatakan kepada Fika, “walaupun nenek hidup serba kekurangan, namun kekurangan ini bukanlah alasan nenek tidak mencintai Indonesia, nenek yakin kedepannya Indonesia akan jauh lebih maju dan cerdas“.

Dialog singkat Fika dan Nek Raminah adalah peristiwa yang mayoritas dialami warga negara Indonesia khususnya daerah terpencil. Dialog singkat Fika dengan Nek Raminah menyadarkan Fika bahwa Pemerintah dan kita masih belum cukup sepenuhnya mendapatkan kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang katanya sudah merdeka, tapi sayangnya masih banyak penduduknya menderita. Sekitar 70 tahun yang lalu, Indonesia diperdaya selama 350 tahun oleh bangsa asing. Bangsa asing yang jauh lebih unggul dari sisi ilmu dan teknologi, yang hanya membawa 17 kapal untuk menjajah kerajaan di Jawa. Tapi berkat kecerdikan dan ilmu yang dimiliki, seluruh kerajaan di Jawa jatuh ke tangan mereka.

Proses sejarah kemudian berbalik, ketika segelintir elit di Indonesia mampu mengakses pendidikan barat berkat Politik Etis. Waktu itu muncul nama-nama seperti Hatta, Soekarno, Soetomo, Iskaq Tjokrohadisurjo, dan Tan Malaka yang merupakan cendekiawan awal Indonesia. Tokoh-tokoh itu berhasil merumuskan gagasan ke-Indonesiaan yang bebas dan merdeka dari bangsa lain.

Keesokan harinya, Fika pergi ke sebuah sekolah yang didudukinya selama Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat Fika melangkahkan kakinya di depan pintu gerbang sekolah, hati Fika menangis dan terbelenggu, “kapan majunya sekolah ini?’’ ungkap Fika. Sambil terus melanjutkan perjalanan, Fika menyaksikan sekolahnya ini dengan penuh teliti, tapi ternyata tak ada kemajuan dari sekolah ini, masih seperti yang didudukinya dulu.

Rawa di halaman sekolah, jurang di belakang sekolah, becek, dan sebagainya. ‘‘Ya Allah, inikah merdeka? Sebenarnya apa arti merdeka?’’ Fika sangat prihatin melihat pendidikan yang belum menyeluruh hanya sebagian sekolah yang memadai dan masih banyak sekolah yang mengeluh tentang sekolah mereka.

Fika teringat sewaktu masih menempuh pendidikan di sekolah ini. Saat  Ujian Nasional dulu, Fika sempat tidak percaya diri akan lulus sebab jumlah guru yang kurang dan buku yang sedikit sebagai alasan utamanya. Ya, guru di sekolahnya itu juga masih kurang dan kebanyakan guru di sekolah itu makan “gaji buta”. Apalagi yang sudah PNS, masuk semaunya saja.

Dulu Fika dan kawan-kawan sempat melaporkan guru-guru tersebut ke Kepala Dinas Pendidikan setempat, tapi tidak ada respon atau tanggapan yang didapat. Hanya kata ‘‘iya, iya, kami akan mengurusnya.’’ Tapi buktinya setelah setahun sekolah ini Fika tinggalkan tak ada perubahan baik kondisi sekolah maupun para guru yang ada, malah semakin parah.

Pencerdasan bangsa mungkin menjadi agenda besar bangsa ini yang paling sulit diwujudkan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhammad Nuh, dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, pada 21 Maret 2011 mengungkapkan bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia, dari SD hingga SMA/SMK belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Implikasi dari semua ini adalah rendahnya daya saing pelajar Indonesia.

Riset yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009, menunjukkan kemampuan membaca, matematika, dan sains pelajar Indonesia berada di bawah standar internasional. Indonesia menempati posisi 60 dari 65 negara. Fakta tentang kondisi pendidikan di tanah air yang masih terpuruk, membuat kita bertanya, apakah kita ingin menjadi bangsa besar?

Sepanjang sejarah dunia tidak pernah ada satu bangsa yang berhasil meraih kejayaan tanpa berinvestasi pada sektor pendidikan. Jika para pemimpin kita masih tetap membiarkan kondisi ini, nasib bangsa ini hanya tinggal menghitung umur jagung. Bangsa ini pernah mengalaminya, kita diperdaya (bukan dijajah) selama 350 tahun oleh bangsa asing.

Lain lagi ketika Fika melihat pemuda-pemuda di desanya yang bekerja rata-rata sebagai buruh tani, kerja harian, bahkan banyak yang pengangguran. Tangan Fika mengepal saat itu, darah Fika mendesis cepat, dan berteriak sekuat-kuatnya ‘‘Bukankah Indonesia tanah surga? tapi kenapa rakyatnya menderitaaaaaaaaa…???"

Kemiskinan, pengangguran, dan pendidikan yang kurang baik masih mewabah di negeri ini, negeri pertiwi ini, negeri yang penuh perjuangan ini, negeri yang kaya akan sumber daya alamnya. Sudah pantaskah kita disebut merdeka? (Cerita ini dikirim oleh Mulyadi, Medan)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya