Cita-cita Besar Bapakku

Unjuk Rasa Sopir Metro Mini
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Suara azan dari kaset musala mulai terdengar. Penanda azan subuh akan segera dikumandangkan. Bapak sudah rapi dengan sarung, koko, serta kopiahnya dan bersiap-siap pergi ke musala. Bukan, bapak bukan muazin ataupun imam. Ia hanya senang bisa salat di masjid, keinginannya memiliki rumah dekat langgar terwujud sudah.

Namanya Kasdi, pembawaannya sesederhana namanya. Bapak adalah seorang sopir yang sudah menekuni profesinya selama 20 tahun lebih. Seorang bapak dua anak yang kini berusia 49 tahun itu lahir di desa kecil di Ponorogo, Jawa Timur. Terlahir dari keluarga petani beranggotakan seorang istri dan delapan orang anak membuat bapak menjadi sosok yang mandiri. Menyusuri sungai, hutan, dan bukit untuk mencari rumput serta kayu adalah kegiatan sehari-hari Bapak dan ketujuh saudaranya.

Jangan tanya soal pendidikan, kakek dan nenek hanya mampu menyekolahkan sampai SD. Sebagai anak kelima, bapak merasa memiliki tanggung jawab terhadap adik-adiknya. Ia sadar betul betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan. Setelah merantau ke Jakarta, bapak membiayai pendidikan adik ketujuh sampai SMA. Sayang, walau sudah bersekolah, nasib pak leku itu hanya bisa menjadi sopir juga.

Jakarta, awal cerita orang-orang kampung mengadu nasib, termasuk bapak. Ia memulai pekerjaannya menjadi buruh pabrik termos. Tiap pagi ia berjalan kaki dari Kalibata sampai Cililitan. Ongkos bis 250 rupiah dirasa cukup berat saat itu. Terkadang bapak memakai seragam SMA untuk mengelabui ongkos bis yang hanya 50 perak untuk pelajar. Ia sadar, untuk orang merantau berhemat itu penting.

Berawal dari mencari tambahan mencuci mobil metromini setiap malam, bapak mulai menjadi kenek dan beralih profesi menjadi sopir bus metromini. Sayang, dunianya terlalu kelam. Ia pernah dirawat karena pembuluh darah di paru-parunya pecah akibat minuman keras. Sejak saat itu bapak sadar dan memulai hidup di jalan yang benar.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Sampai akhirnya ada kejadian dimana Bapak yang baru mulai "narik" di pagi hari dipalak oleh preman-preman terminal. Menolak karena memang tak punya uang, bapak malah dikeroyok oleh segerombolan orang. Ia yang tidak terima melaporkan ke polisi dan kasusnya naik sampai pengadilan. Segerombol preman itupun masuk penjara. Bapak pun beralih menjadi sopir pribadi.

Bapak akhirnya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi ibuku. Ibu saat itu menjadi seorang baby sitter di kompleks yang sama dengan bapak bekerja. Menikah dan kini memiliki dua anak perempuan. Aku dan adikku.

Walaupun seorang sopir, ia memiliki prinsip-prinsip jelas dalam hidup yang diterapkan pada anak-anaknya. Lelaki ini sangat konsen terhadap masa depan keluarga. Tidak terkecuali aku, anak pertama yang akan menjadi tulang punggung keluarga. Ia sangat menyadari, perubahan dalam hidup itu penting. Salah satu langkahnya adalah dengan pendidikan. Bapak terus berupaya agar anaknya terus bisa sekolah.

Nilai-nilai kehidupan, kedisiplinan, dan harapan-harapannya membentuk diriku secara tidak sengaja. Kemandirian dan kegigihanku ini, dialah yang bentuk. Betapa bahagianya dia ketika aku mulai menempuh pendidikan sekolah tinggi. Tak peduli berapa biaya yang harus ia tanggung.

Berutang sana sini saat bayaran semester sudah biasa. Bekerja siang malam demi pendidikan dan cita-cita besarnya. Kalimat yang seringkali ia ucap terus terngiang. Anaknya harus sekolah walaupun bapaknya cuma sopir. Anaknya harus sarjana walaupun bapaknya cuma lulusan SD. Anaknya... anaknya... anaknya...harus sekolah.

Bapak tak memikirkan dirinya sendiri. Padahal kini ia sakit. Diabetes milik kakek menurun padanya. Bapak selalu menjaga penyakitnya agar tidak semakin parah. Bagaimana nasib anaknya nanti? Anaknya belum selesai sekolah. Anaknya belum sarjana.

Betapa bangganya ia bercerita ke sesama sopir. Aku yang berkuliah, adikku yang kini menjadi santri. Apalagi saat aku berhasil mendapatkan beasiswa. Kebahagiaan itu tak bisa ditutupi. Wajahnya haru dan bersyukur. Malam-malam sebelumnya ia berdoa. Aku tahu, rezeki ini hadiah Tuhan untuknya.

Dibalik itu, Bapak adalah sosok yang humoris. Mencairkan dan menghangatkan suasana adalah keahliannya. Selalu menghibur dan membuat orang sekitarnya bahagia.

Cita-cita besarnya sedikit lagi terwujud. Aku terus berusaha mengaminkan keinginanya. Anaknya sekolah, anaknya sarjana, anaknya sukses dunia akhirat. Tunggu aku bapak. Semoga kesuksesanku bisa terwujud di depanmu. (Cerita ini dikirim oleh Dian Afriliani, Jakarta)

Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016