Rumah yang Bersahabat untuk Badak, Mungkinkah?

Sungai Cigenter merupakan sungai yang terdapat dalam Pulau Handeuleum, sebuah pulau kecil di gugusan Pulau Taman Nasional Ujung Kulon.
Sumber :

VIVA.co.id - Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati tinggi jika dibandingkan negara lain di dunia. Di samping itu sebagai negara yang terletak tepat di garis khatulistiwa, menyebabkan di Indonesia terdapat areal tertentu yang dihuni beragam hewan dan tumbuhan endemik yang hanya dijumpai di sini.

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Hal ini kian memperkuat Indonesia sebagai surga bagi ekosistem biologis yang unik dan menarik perhatian wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Sebagai contoh komodo, bekantan, beragam jenis hiu, orang utan Sumatera, dan badak yang hanya dapat dilihat di Indonesia.

Badak merupakan hewan yang menarik karena di Indonesia terdapat beragam jenisnya. Namun karena berbagai faktor kini hanya terdapat 2 jenis badak yaitu Badak Jawa dan Badak Sumatera yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.

Badak Jawa

Badak Jawa mempunyai cula berukuran kecil, bahkan badak berjenis kelamin betina tidak memiliki cula. Kulitnya berwarna abu-abu dengan tekstur yang tidak rata. Bagian atas bibirnya runcing untuk mempermudah ia meraih makanan. Badak Jawa mencapai usia remaja ketika berusia 10 tahun (jantan) serta 5 tahun untuk betina, kala itulah badak betina mengandung dengan durasi 16 bulan. Dapat dibayangkan waktu yang sangat lama dibutuhkan seekor badak dewasa untuk menghasilkan keturunan baru.

Hewan yang memiliki nama latin Rhinoceros sondaicus sondaicus ini kini hanya tersisa 50 ekor di alam liar, sehingga sejak tahun 1930an statusnya sangat dilindungi di Indonesia. Dengan populasi yang sedemikian sedikit dan kian berkurang, tergolong ke dalam spesies langka sangat terancam (critically endangered) menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Hingga kini habitat alami yang tersisa bagi mamalia bercula satu ini hanya Ujung Kulon di barat daya Pulau Jawa dengan jumlah 20-30 ekor pada tahun 1960an.

Dengan status Badak Jawa sebagai satwa langka yang dilindungi di Indonesia perburuan semakin berkurang. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan keberadaan Badak Jawa kian bisa dihitung dengan jari, di antaranya, berkurangnya keragaman gen karena rendahnya populasi Badak Jawa dan degradasi hutan. Jumlah populasi Badak Jawa yang semakin berkurang membuat satwa besar ini rentan terhadap penyakit dan bencana alam. Hal itu diperparah dengan akses alihfungsi lahan yang seolah tidak mengenal batas sehingga Badak Jawa kehilangan rumahnya.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Badak Sumatera

Berbeda dengan Badak Jawa, Badak Sumatera memiliki dua cula. Ciri fisik lainnya yaitu memiliki banyak sekali rambut di seluruh bagian tubuhnya sehingga disebut badak berambut. Selain itu, telinganya besar dan warna kulitnya cokelat atau kemerahan. Satwa yang memiliki nama ilmiah Dicerorhinus sumatrensis ini senang menjelajah dan pemakan buah-buahan, ia juga senang menyendiri.

Keberadaan mamalia herbivora ini sebenarnya tidak kalah terancam dengan Badak Jawa. Populasinya di alam liar kurang dari 200 ekor, itu pun daerah persebarannya tidak banyak. Saat ini, titik yang memungkinkan untuk Badak Sumatera menciptakan generasi baru hanyalah di Sumatera karena di kawasan Kalimantan dikhawatirkan sudah punah karena satwa ini tidak lagi ditemukan disana.

Hal ini membuat status Badak Sumatera tak berbeda dengan Badak Jawa, kondisinya sangat terancam punah menurut lembaga yang mengawasi perkembangan konservasi di dunia, IUCN.

Tidak jauh berbeda dengan Badak Jawa dan seluruh hewan langka yang terdapat di Indonesia, ancaman terbesar populasi Badak Sumatera yang terus menyusut ialah hilangnya lahan demi keserakahan manusia dan perburuan cula yang tidak terkontrol. Karena paham masyarakat Indonesia yang masih erat dengan pola konservatif, badak diburu untuk diambil culanya.

Masyarakat percaya cula badak ampuh untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan bagian tubuhnya pun juga manjur sebagai ramuan obat-obatan tradisional. Selain itu, diyakini bagian tubuh badak bernilai jual sangat tinggi terutama bagi kolektor pemburu benda langka sehingga jumlah badak di habitatnya sangat terancam.

Mungkinkah Menciptakan Rumah Aman untuk Badak?

Bagi orang yang menyayangi hewan dan masih peduli akan nasib kesejahteraan satwa di Indonesia, pasti akan menyadari bahwa 22 September lalu bukan hari yang biasa saja tanpa makna. Ya, 22 September diperingati sebagai Hari Badak Sedunia. Hari tersebut bukan memperingati memori penting, namun merupakan momentum penting apakah badak; satwa yang kharismatik ini masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan generasi muda selanjutnya.

Seperti uraian yang telah dijelaskan di atas, kondisi badak sangat memprihatinkan. Kian ironi karena badak juga terancam bahkan di negara yang digadang sebagai surganya ekosistem dunia. Koloni badak tergilas oleh pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dari tahun ke tahun sehingga ekosistem harus dikorbankan atas nama pembangunan.

Hutan yang dikatakan sebagai paru-paru dunia menipis dan diubah menjadi banyak hal: hunian manusia, perkebunan dan beragam kepentingan lain yang seringkali menyingkirkan lingkungan yang lestari. Memaksa badak dan satwa lain untuk mundur atau bahkan hilang sama sekali dari peredaran.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Saat ini badak diklasifikasikan sebagai satwa langka karena keberadaannya yang terancam hilang, dengan kata lain punah. Sedikit sekali lahan yang ideal untuk badak tersebut tinggal, untuk kemudian berkeluarga dan berkembang biak. Salah satunya Taman Nasional Ujung Kulon yang terletak di Kabupaten Pandeglang, Banten dan Taman Nasional Bukit Barisan yang berada di Lampung. Upaya konservasi inilah yang menjadi tumpuan badak untuk meningkatkan populasinya.

Namun, yang menjadi kendala ialah Taman Nasional Ujung Kulon mempunyai keterbatasan dengan daya tampung hanya 50 ekor lahan. Jumlah badak yang terbilang stagnan, ditambah periode perkembangbiakan badak betina yang lambat menandakan lahan konservasi Ujung Kulon tersebut telah mencapai batas daya tampungnya.

Kondisi tersebut secara gamblang menandakan Indonesia telah berada di level darurat akan kebutuhan rumah kedua bagi badak yang ideal untuk tinggal dan berkembang biak. Habitat alternatif diperlukan karena semakin terbatasnya lahan vegetasi dan badak sangat rawan terhadap penyakit dan bencana alam yang berpotensi menggerus populasi hewan bercula ini.

Menurut Direktur Konservasi WWF Indonesia Arnold Sitompul, lokasi Taman Nasional Ujung Kulon yang berdekatan dengan anak Gunung Krakatau menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup badak karena statusnya sebagai gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus dan hal tersebut akan melenyapkan eksistensi Badak Jawa dan Badak Sumatera sebagai satwa berharga Indonesia.

Faktor lain, integritas habitat badak bersaing ketat dengan tumbuhnya tanaman masif langkap. Tanaman ini merupakan sejenis tumbuhan palem yang menghalangi sinar matahari menembus bagian bawah hutan dan menghalangi tumbuhnya pangan alami badak. Seperti diketahui, badak menyukai dataran rendah untuk mencari dedaunan dan buah-buahan yang tumbuh rendah. Bisa dibayangkan jika sinar matahari terhalang tentunya dapat memengaruhi perkembangan badak.

Sebagai organisasi konservasi mandiri, WWF Indonesia telah melakukan upaya konsisten untuk membawa populasi badak ke jumlah yang stabil. WWF Indonesia bergandengan tangan dengan pihak Taman Nasional mengadakan monitoring aktivitas badak di alam liar dengan menggunakan teknologi kamera trap dan analisa DNA dari pengambilan sampel kotoran.

Teknologi kamera trap ini dioperasikan pertama kali pada tahun 2001 di Taman Nasional Ujung Kulon, yang kemudian diketahui di habitatnya empat belas kelahiran badak berhasil direkam oleh kamera video. Hal ini membuktikan bahwa badak masih memiliki harapan.

Selain itu, WWF memfokuskan pada penelitian perilaku badak di alam liar, pola makan, dan mencegah ancaman penyebaran penyakit. Observasi ini sekiranya dapat menyeleksi badak berdasarkan kondisi kesehatannya di alam liar dan kemungkinan untuk berkembang biak dapat dipantau dengan seksama, sehingga meningkatkan potensi jumlah generasi baru badak di alam liar.

Terlepas dari banyaknya kejadian mengenaskan yang menimpa satwa di Indonesia, kita tentunya harus optimis bahwa kesejahteraan satwa di Indonesia dapat diperjuangkan. Apa yang telah dilakukan oleh WWF sebagai organisasi mandiri patut diapresiasi karena mustahil menyandarkan seluruh permasalahan yang ada kepada negara. Namun, perjuangan yang ada sulit untuk bersinergi jika tidak ada dukungan kuat dari pemerintah yang memiliki wewenang.

Oleh karenanya, dibutuhkan ketegasan para pengambil keputusan untuk menjamin perlindungan penuh satwa Indonesia terutama yang sudah tergolong kedalam hewan nyaris punah seperti badak Jawa dan badak Sumatera.

Salah satunya adalah, perlu adanya revisi Undang-Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yang menurut penulis kurang spesifik dalam menetapkan keberadaan satwa di Indonesia sehingga banyak sekali beredar berita perburuan satwa melampaui batas yang seharusnya karena payung hukum yang kurang kuat. Seperti dijelaskan dalam salah satu pasal sebagai berikut.

Pasal 21
(1)Setiap orang dilarang untuk:
• Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
• Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2)Setiap orang dilarang untuk:
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Terlihat dari pasal di atas yang kurang menguatkan jenis satwa apa saja yang dilindungi, yang sudah berada dalam level berbahaya untuk diambil atau dikonsumsi, dan satwa yang seharusnya tidak boleh lagi diganggu gugat oleh manusia karena jumlahnya di alam yang sudah kritis.

Sehingga apa yang terjadi di Indonesia seringkali orang awam bertindak seolah hewan tersebut masih banyak di luar sana, seperti layaknya badak yang culanya diburu untuk kepentingan pribadi atau segelintir kelompok tertentu. Dan dalam menyikapi pelanggaran hukum yang didasarkan pada pasal diatas sebagai berikut.

Pasal 40
(1)Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4)Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

Dapat dilihat, menyakiti dan memperdagangkan satwa yang dilindungi berikut anggota tubuhnya hanya diganjar maksimal 5 tahun penjara dan hukuman denda maksimal Rp100 juta.

Banyak dijumpai kasus hukuman ini bercampur dengan kasus perusakan hutan secara sengaja sehingga kasus pembunuhan dan perburuan terhadap satwa, termasuk satwa yang dilindungi tenggelam bahkan tidak diusut hingga tuntas sehingga memburu hewan yang dilindungi dianggap hal yang biasa di Indonesia.

Penulis berharap dengan tulisan ini, pengambil keputusan dapat menyadari bahwa sebagai manusia kita harus hidup berdampingan dengan alam karena jika suatu hari nanti satwa hilang dari bumi ini karena diambil terus menerus tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan maka manusia akan ikut punah.

Semoga Hari Badak Sedunia beberapa hari lalu tidak sekadar peringatan tanpa makna, tapi membuka mata para sosok di balik pemerintah bahwa kesejahteraan hewan seharusnya juga menjadi isu penting di Indonesia dan Indonesia yang kaya akan keragaman hayati tak hanya semboyan belaka. (Cerita ini dikirim oleh Erinintyani Shabrina R – Tangerang)

(Cerita ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?")

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya