Masih Ada Tempat di Ujung Barat

Badak
Sumber :

VIVA.co.id - Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman yang tinggi baik flora maupun fauna. Salah satu fauna yang menjadi perhatian khusus adalah badak. Badak merupakan mamalia besar dengan ciri memiliki cula yang menancap di atas moncongnya. Spesies badak diyakini telah ada di muka bumi sejak zaman tertier (sekitar 65 juta tahun yang lalu), satu masa dengan dinosaurus yang telah punah. Pada zaman tersebut diketahui ada sekitar 30 jenis badak di dunia.

Saat ini hanya tersisa lima spesies badak, yaitu Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis), Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus), Badak India (Rhinoceros Unicornis), Badak Hitam (Diceros Bicornis Longipes) dan Badak Putih (Ceratotherium Simum) yang keduanya terdapat di Afrika. Dua dari lima spesies badak yang tersisa terdapat di Indonesia, yaitu Badak Sumatera dan Badak Jawa yang sama-sama terancam punah.

Badak Jawa adalah spesies badak yang paling langka dan masuk dalam kategori critically endangered menurut IUCN (International Union for Concervation of Nature), yaitu dikategorikan sangat terancam. Badak Jawa juga terdaftar dalam Apendiks I menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang artinya tidak boleh diperdagangkan karena jumlahnya sangat sedikit di alam dan dikhawatirkan mengalami kepunahan.

Di Indonesia, Badak Jawa merupakan satwa yang dilindungi secara hukum.  Pada tahun 1910 Badak Jawa sebagai satwa liar secara resmi telah dilindungi Undang-Undang oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1921 berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, pemerintah Belanda menyatakan habitat Badak Jawa di Ujung Kulon sebagai kawasan Taman Nasional.

Habitat Badak Jawa yang tersisa adalah Ujung Kulon di ujung barat Pulau Jawa. Menurut sejarah, Badak Jawa pernah hidup di hampir semua gunung-gunung di Jawa Barat, di antaranya berada hingga di atas ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 1960-an, diperkirakan sekitar 20 sampai 30 ekor badak saja tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, sedangkan di Vietnam Badak Jawa sudah dinyatakan punah akibat perburuan.

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Di masa lalu, Badak Jawa tersebar luas di Asia Tenggara meliputi Bangladesh, Myanmar, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, hingga Pulau Sumatera dan Jawa. Berdasarkan daerah sebarannya dikenal tiga subspesies, yaitu Rhinoceros Sondaicus yang tersebar di Pulau Sumatera dan Jawa, Rhinoceros Sondaicus Annamiticus tersebar di Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand hingga Semenanjung Malaya, dan Rhinoceros Sondaicus Inermis yang tersebar di Bangladesh hingga Burma.

Sekitar tahun 1600-1700, Badak Jawa masih tersebar luas di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Jawa. Berbeda dengan kerabatnya Badak Sumatera, Badak Jawa tidak ditemukan di Pulau Kalimantan dan juga tidak ditemukan di daerah Jawa Timur yang beriklim lebih kering. Hingga akhir abad ke-19, populasi Badak Jawa dilaporkan masih ditemukan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, diantaranya adalah Wonosobo (1833), Nusakambangan (1834), Telaga Warna (1866), Gunung Slamet (1867), Tangkuban Perahu (1870), Gede Pangrango (1880), Papandayan (1881), Bandung (1895), Ciremai (1897) dan Karawang Jawa Barat (1912). Antara tahun 1925-1930, 12 ekor badak yang menjadi populasi terakhir Badak Jawa di Sumatera dibantai hingga punah oleh pemburu Eropa.

Badak Jawa merupakan jenis hewan yang hidupnya soliter, kecuali pada saat musim kawin dan mengasuh anak. Hewan ini juga termasuk golongan Perissodactyla atau hewan berkuku ganjil. Tubuhnya memiliki satu cula yang terdapat di atas moncongnya dengan panjang 20 hingga 27 cm. Cula tersebut digunakan untuk memindahkan lumpur di kubangan, menarik tanaman, atau membuka jalan rintisan pada vegetasi yang tebal.

Cula badak terbuat dari keratin yang mengeras, seperti tanduk kerbau atau sapi, sehingga kemungkinan tidak ada kaitannya antara cula yang dapat dijadikan sebagai mitos obat kuat. Kulit Badak Jawa terlihat seperti lipatan sehingga tampak seperti memakai tameng baja. Mereka memiliki bibir atas yang lebih menonjol sehingga dapat digunakan untuk meraih makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Mata yang relatif kecil membuat Badak Jawa kurang dapat melihat dengan baik. Akan tetapi, indera pendengaran dan penciuman Badak Jawa sangat peka, sehingga sulit didekati oleh manusia.

Badak Jawa merupakan hewan herbivora dan makan berbagai macam spesies tumbuhan, seperti tunas, ranting, dedaunan muda dan buah yang jatuh. Umumnya tumbuhan yang disukai oleh spesies ini tumbuh di tempat yang terkena cahaya matahari. Badak menjatuhkan pohon muda untuk meraih makanannya dan mengambilnya dengan bibir atasnya yang bisa memegang. Badak Jawa adalah pemakan yang sangat bisa beradaptasi dari seluruh spesies badak. Badak ini diperkirakan makan 50 kg makanan per harinya.

Badak Jawa jantan dikatakan dewasa pada usia sepuluh tahun. Badak Jawa betina dewasa lebih cepat, yakni pada usia lima hingga tujuh tahun. Sedangkan dalam proses reproduksi, Badak Jawa betina hamil selama 15 hingga 16 bulan. Betina melahirkan satu anak dalam interval 4 sampai 5 tahun. Lamanya masa kehamilan dan interval memiliki anak yang tergolong lambat menjadikan salah satu ancaman bagi tingkat kepunahan Badak Jawa di masa yang akan datang. Usia maksimum badak betina mampu menghasilkan keturunan adalah 30 tahun. Usia rata-rata badak dapat mencapai 40 hingga 45 tahun.

Taman Nasional Ujung Kulon yang merupakan habitat Badak Jawa yang tersisa menjadi harapan besar bagi kelangsungan hidup hewan ini. Dengan demikian, perlunya pelestarian habitat ini dalam waktu jangka panjang. Ujung Kulon menjadi tempat yang nyaman bagi Badak Jawa untuk bertahan hidup. Artinya, semua kebutuhan hidup badak ini dapat terpenuhi dengan mudah.

Kriteria tempat yang harus dipenuhi sebagai habitat bagi keberlangsungan hidup badak adalah berupa hutan datar, topografinya tidak berat, harus luas serta terisolasi, dan tentunya ketersediaan pakan. Selain itu, ketersediaan air tawar  juga digunakan sebagai kubangan yang berfungsi untuk mendinginkan suhu tubuhnya. Sementara, pantai diharuskan ada karena badak perlu sekali-kali untuk turun ke laut untuk menetralkan parasit-parasit yang ada di kulitnya. Kriteria tersebut ada di Taman Nasional Ujung Kulon.

Namun, saat ini banyak perubahan yang terjadi di Ujung Kulon, seperti menurunnya kualitas habitat badak, ketersediaan pakan, kompetisi antar hewan, dan lain-lain. Oleh karena itu, masalah-masalah tersebut harus selalu diperhatikan dan diwaspadai agar tidak semakin meningkat.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan taman nasional yang terletak di barat Pulau Jawa, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Luas area ini sekitar 122.956 ha yang meliputi beberapa pulau. TNUK menjadi habitat bagi Badak Jawa yang tersisa di Indonesia yang mampu mempertahankan spesies Badak Jawa.

Berdasarkan hasil inventarisasi tahunan Badak Jawa, pada saat ini konsetrasi penyebaran Badak Jawa pada umumnya di daerah bagian selatan Semenanjung Ujung Kulon (sekitar 30.000 ha), yakni di daerah Cibandowoh, Cikeusik, Citadahan, dan Cibunar, sedangkan di sebelah utara terdapat di daerah Cigenter dan sekitarnya (Rahmat 2009).

Semenanjung Ujung Kulon merupakan satu-satunya kawasan tempat Badak Jawa masih bisa bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik secara alami. Sebagian besar dari kawasan tersebut merupakan dataran rendah yang ditutupi oleh vegetasi sekunder dari tipe hutan hujan dataran rendah dengan pola aliran sungai yang cukup rapat. Suhu udara rata-rata harian berkisar 26.2-28.7 °C dan kelembaban berkisar 75-91%, serta intensitas radiasi surya 0.621-0.669 Cal/cm2/ml.

Hal tersebut merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan tingkat, sesuai tumbuhan pakan (Rushayati dan Arief 1997). Dengan kondisi biologis dan fisik yang demikian menjadikan Semenanjung Ujung Kulon sebagai habitat badak yang cukup ideal sampai saat ini. Hasil monitoring Badak Jawa tahun 2013 di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui rekaman kamera pengintai diperkirakan jumlah populasinya 58 individu.

Adanya peningkatan populasi Badak Jawa di Ujung Kulon menjadikan taman nasional tersebut harus benar-benar dilindungi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dikutip dari WWF, bahwa salah satu indikator bahwa TNUK masih memadai kestabilan populasi badak yang dibuktikan dengan adanya kehadiran tiga anak badak.

Populasi Badak Jawa yang diketahui semakin menyusut disebabkan oleh perburuan cula yang sangat mahal yang diyakini sebagai obat tradisional. Beruntungnya, dalam beberapa dekade terakhir di Ujung Kulon, berkat penyadaran kepada masyarakat dan sosialisasi, tidak ada lagi perburuan badak. Selain itu juga, menyusutnya populasi Badak Jawa dikarenakan mereka kehilangan habitat yang semakin hari kian semakin buruk.    

Masalah terbesar yang ada di Ujung Kulon adalah sebagian pakan badak serupa dengan banteng (Bos javanicus) yang menyebabkan mereka harus berkompetisi mendapatkan makanan. Hasil analisis yang dilakukan oleh Yayasan Mitra Rhino (YMR) dan WWF menyatakan bahwa vegetasi pakan dalam hutan pada daerah konsentrasi banteng ditemukan sebanyak 105 jenis tumbuhan pakan banteng dan pada daerah konsentrasi Badak Jawa ditemukan sebanyak 79 jenis pakan Badak Jawa.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Pada daerah overlap (Badak Jawa dan banteng) ditemukan sebanyak 110 jenis tumbuhan pakan yang terdiri dari 97 jenis tumbuhan yang hanya dimakan Badak Jawa, 74 tumbuhan yang hanya dimakan banteng dan 63 jenis tumbuhan merupakan pakan Badak Jawa dan banteng.

Pada daerah konsentrasi banteng, Arenga obtusifolia (langkap), Daemonorops melanochaetes (rotan), Donnax cunnaeformis (bamban), Diospyros macrophylla (kayu hitam) dan Dillenia excelsa (kanigara) mempunyai nilai palatabilitas tertinggi dan paling disukai oleh banteng,

Sementara pada daerah konsentrasi Badak Jawa tumbuhan yang mempunyai nilai palatabilitas tertinggi dan paling disukai oleh Badak Jawa adalah Daemonorops melanochaetes, Ardisia humilis (lampeni), Cynometra lamiflora (kopi anjing), Exoecaria virgata (sambang darah) dan Evodia latifolia (kisampang).

Sedangkan pada daerah overlap, Arenga obtusifolia, Leea sambucina  (sulangkar), Caryota mitis (sarai), Saccopetalum heterophylla (kitanjung) dan Daemonorops melanochaetes merupakan pakan yang paling disukai oleh banteng dan Leea sambucina, Caryota mitis, Amomum coccineum (jahe-jahean), Eugenia polyantha (salam) dan Tetracera scandens (kasapan) adalah jenis pakan yang disukai oleh Badak Jawa.

Penelitian yang dilakukan oleh Putro (1997) menyatakan bahwa dari seluruh jenis tersebut, Eugenia polvantha, Glochidion macrocarpum, Dillenia excelsa, dan Leea sambucina, merupakan tumbuhan pakan penting bagi Badak Jawa, sedangkan Arenga obtusifolia merupakan jenis tumbuhan yang diduga dapat mengancam ketersediaan tumbuhan pakan Badak Jawa karena penutupan tajuk jenis ini sangat rapat, sehingga menghambat penetrasi cahaya ke lantai hutan.

Semakin menurunnya kualitas habitat di Ujung Kulon merupakan ancaman serius bagi kelestarian Badak Jawa, yaitu persebaran palma invasif langkap (Arenga obtusifolia) sejenis aren yang cepat berkembang biak di hutan rawa dan dataran rendah lewat biji yang disebarkan oleh musang.

Sekitar 30% dari luas semenanjung Ujung Kulon, langkap telah menggantikan vegetasi yang menjadi pakan badak. Pertumbuhan dan penyebaran Arenga obtusifolia di seluruh Taman Nasional Ujung Kulon perlu segera dibatasi karena sangat menggangu pertumbuhan dan perkembangan anakan yang merupakan pakan Badak Jawa. Namun, hingga saat ini belum ada cara efektif untuk mencegah perkembangan langkap.

Populasi Badak Jawa yang terkonsentrasi di satu area, yaitu TNUK juga menjadi salah satu faktor sangat rentan terhadap kepunahan, sehingga upaya untuk menjamin kelestarian populasi Badak Jawa dalam jangka panjang merupakan salah satu prioritas program konservasi Badak Jawa di Indonesia (Rahmat 2009).

Penyakit dan bencana alam dapat menyebabkan hilangnya seluruh populasi badak. Ancaman lain bagi populasi Badak Jawa adalah meningkatnya kebutuhan lahan sebagai akibat langsung pertumbuhan populasi manusia. Pembukaan hutan untuk pertanian dan penebangan kayu komersial mulai bermunculan di sekitar dan di dalam kawasan lindung tempat badak ini hidup.

Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai habitat Badak Jawa ini. Menurut penelitian Rahmat et al. (2008), Badak Jawa cenderung menyukai daerah berlereng datar hingga curam yang digunakan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga dengan adanya kecenderungan Badak Jawa menyukai tipe habitat yang berdekatan dengan pantai.

Muntasib (2002) menyatakan bahwa habitat Badak Jawa terdiri atas komponen fisik, biologis, dan sosial. Komponen fisik habitat Badak Jawa adalah ketinggian, kelerengan, kubangan, dan air (neraca air tanah, kualitas air, ketersediaan air, kondisi air permukaan). Komponen biologis habitat Badak Jawa adalah struktur vegetasi, pakan badak, dan satwa besar lain.

Badak Jawa menyukai daerah yang rendah yang memanjang di sekitar pantai, rawa-rawa mangrove, dan hutan sekunder. Kehadiran Badak Jawa pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan biotik habitat itu sendiri. Komponen habitat yang paling dominan mempengaruhi frekuensi kehadiran Badak Jawa pada suatu habitat yang disukai di TNUK adalah kandungan garam mineral (salinitas) dan pH tanah.

Areal yang disukai oleh Badak Jawa di TNUK adalah areal yang memiliki karakteristik kandungan garam mineral sumber-sumber air yang berkisar antara 0.25-0.35%, pH tanah berkisar antara 4.3-5.45, jarak dari pantai berkisar antara 0-600 meter, dan kandungan garam mineral pada permukaan dedaunan pakan badak adalah 0.35% (Rahmat 2007).

Untuk melestarikan habitat di pulau ujung barat ini maka diperlukan adanya kerjasama pemerintah dan masyarakat, seperti pendekatan dengan membangun peran masyrakat dalam upaya perlindungan kawasan dan konservasi Badak Jawa, seperti pendidikan lingkungan, penyuluhan, pembinaan kelompok tani, dan peningkatan kesadaran masyarakat (Haryono dan Sriyanto 1997).

Selain itu juga, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan konservasi satwa liar, seperti organisasi atau komunitas, LSM, aktivis lingkungan, baik dari masyarakat yang membidanginya maupun mahasiswa yang mampu mengembangkan ide-ide kreatifnya.

Sosialisasi merupakan salah satu tindakan sederhana, namun sangat bermanfaat. Hal ini akan memberikan pemahaman baru bagi masyarakat. Tingginya tingkat kesadaran masyarakat juga dapat mengoptimalkan hasil sosisalisasi. Sosialisasi dilakukan dengan cara kerjasama baik bagi pemerintah setempat, masyarakat setempat, instansi atau organisasi terkait, peran mahasiswa yang membidangi, hingga masyarakat yang sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Program pemerintah, kajian dan penelitian yang dilakukan para ahli memberikan dampak yang positif. Mahasiswa yang membidangi seperti mahasiswa jurusan kehutanan, kedokteran hewan, biologi, dan lain sebagainya dapat mengkaji ulang kembali bahkan mensosialisasikannya untuk mewujudkan pelestarian habitat badak ini. Hal kecil inilah yang mampu mengubah sedikit demi sedikit masalah yang terjadi.

Pelestarian habitat merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga keberlangsungan hidup badak. Taman Nasional Ujung Kulon yang kini menjadi habitat satu-satunya bagi Badak Jawa harus mampu dipertahankan agar Badak Jawa dapat hidup nyaman dan berkembangbiak dengan baik, sehingga Badak Jawa masih dapat dilihat oleh anak cucu kita di masa mendatang.

Untuk itu, kerjasama yang baik sangat dibutuhkan, dimulai dari hal kecil, sedikit demi sedikit akan memberikan dampak yang besar bagi pelestarian Badak Jawa di habitatnya. Dengan begitu, tempat yang tersisa akan tetap menjadi satu-satunya harapan bagi kelangsungan hidup Badak Jawa. (Cerita ini dikirim oleh Sri Rahayu R, Bogor)

(Cerita ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?")

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya