KPK Baru, Perlu Kepolisian dan Kejaksaan

Panitia seleksi KPK sedang melakukan wawancara terbuka.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Mohammad Nadlir

VIVA.co.id - Polemik pemilihan Pimpinan KPK periode 2015-2019 semakin meruncing dan issu perlu tidaknya keterwakilan Jaksa dan Polisi menjadi pimpinan KPK semakin besar. Beragam pendapat yang menolak adanya “keterwakilan Jaksa dan Polisi” di tubuh pimpinan KPK menjelang seleksi akhir oleh Tim Pansel KPK.

Satgas Pangan Polri: Pasar Murah Harus Digencarkan Jelang Lebaran di Kalteng

Ada yang berpandangan bahwa tampilnya sejumlah polisi dalam pencalonan kepala daerah maupun di institusi lain merupakan hal positif bagi citra Kepolisian. Hal itu sekaligus bisa menjadi tolak ukur kepercayaan publik pada Polri yang selama ini cenderung negatif. Namun, tidak dengan tampil di KPK. Oleh karena terbentuknya KPK didasarkan atas ketidakmampuan Polri dan kejaksaan, sehingga terlhat ironis apabila pimpinannya diisi oleh polisi dan jaksa.

Selain itu ada pengamat yang merasa heran dengan pendaftaran anggota kepolisian dan kejaksaan sebagai bakal calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menegaskan sebaiknya para jaksa dan polisi tersebut fokus pada perbaikan dalam masalah internal institusi Kepolisian dan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan korupsi daripada melamar sebagai penyidik atau pimpinan KPK.

Irjen Agung Setya Kerahkan 12.092 Personel Gabungan Amankan Mudik Lebaran 2024 di Sumut

Pendapat lainnya mengatakan bahwa sebaiknya orang-orang dari latar belakang Polri dan Kejaksaan, tidak menjabat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan alasan tidak ada aturan yang melarang atau mengharuskan pimpinan KPK berasal dari lembaga penegak hukum dan  salah satu alasan utama didirikannya institusi KPK disebabkan Polri dan Kejaksaan dinilai tidak efektif dalam memberantas kasus-kasus korupsi.

Sedangkan Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengapresiasi sejumlah tokoh dari Polri dan TNI yang ingin menjadi pimpinan komisi antirasuah periode berikutnya, akan tetapi disisi lain mereka itu rentan menimbulkan konflik kepentingan di internal KPK.

Elite Gerindra Sebut Polri Sudah "On the Track" Tangani Kasus Firli Bahuri

Memang dalam sejarah kepemimpinan KPK, jajaran komisioner tidak selalu diisi oleh unsur dari Polri maupun Kejaksaan. Taufiequrachman Ruki dari unsur Polri memang pernah menjadi Ketua KPK jilid pertama. Tumpak Hatorangan dari unsur kejaksaan menjadi Wakil Ketua KPK pada saat itu, tetapi tiga komisioner lainnya berasal dari unsur lain. Begitu pula dengan kepemimpinan KPK jilid kedua. Bibit Chandra berasal dari instansi Polri, sementara Antasari Azhar dari kejaksaan. Namun, tidak ada perwakilan dari Polri pada pimpinan KPK periode ketiga.

Keberatan dan penolakan tersebut merupakan suatu hal yang wajar, namun dengan meruncingnya resistensi tersebut pada tahap akhir seleksi membuat kesan para komentator ini khawatir jagoan mereka kalah bersaing dengan peserta yang berlatar belakang Polisi dan Jaksa.

Keberatan dan penolakan dari kalangan LSM dan Organisasi lainnya sejak awal tersebut rupanya tidak mempengaruhi Panitia Seleksi Pimpinan KPK. Bahkan pada masa pendaftaran mereka menemui beberapa kepala institusi penegak hukum dan  mendorong institusi-institusi itu untuk mengajukan anggota terbaik dalam seleksi tersebut.

Pola pikir panitia seleksi pimpinan KPK di atas dengan mendorong Kepolisian dan Kejaksaan mengirimkan putra-putri terbaiknya dalam seleksi pimpinan tersebut merupakan implementasi dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengapa demikian?

KPK mempunyai tugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan. Keberhasilan KPK dalam melaksanakan kedua tugas ini adalah dengan mempererat  hubungan kerja antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga terdapat sinergitas antara ketiga lembaga tersebut.

Secara psikologis aparat Kepolisian dan Kejaksaan akan merasa lebih senior dari KPK dan akan merasa lebih hebat kemampuanya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Untuk menghilangkan rasa senioritas dan perasaan lebih hebat tersebut maka perlunya pimpinan KPK dari Kepolisian dan Kejaksaan yang memiliki kemampuan diatas rata-rata turut serta dalam melakukan tugas tersebut sehingga aparat Kepolisian dan Kejaksaan akan merasa nyaman dikoordinir dan supervisi oleh senior mereka.

Namun pelaksanaan tugas sebagai koordinator dan supervisor dalam pemberantasan korupsi belum dapat dilakukan oleh KPK padahal sudah pernah dirintis pada masa KPK jilid I, dimana Taufiqurahman Ruki dan Tumpak Hatorongan Pangabean sering melakukan koordinasi dan supervisi ke Kepolisian dan Kejaksaan, akan tetapi kebiasaan tersebut nyaris tak terdengar dan seolah terhenti setelah kepemimpinan Antasari Azhar hingga kini.

Pada saat ini walaupun unsur pimpinan KPK terdapat unsur Kepolisian dan Kejaksaan namun mekanisme kerja KPK yang mengedepankan penindakan dan memposisikan diri sebagai kompetitor yang marak dengan kilatan blitz dan lampu sorot kamera televisi sehingga mengabaikan fungsi koordinasi, supervisi dan bahkan terkesan “melecehkan” institusi penegak hukum lainnya.

Masyarakat yang keberatan terhadap peserta tes Capim KPK yang berlatar belakang Jaksa dan Polisi harus memahami bahwa peran utama KPK yang diatur dalam UU adalah sebagai Koordinator/Supervisor dan menjadikan fungsi penindakan sebagai pemicu serta pemberdayaan institusi dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). Namun harus ditegaskan bahwa mekanisme koordinasi yang dilakukan tidak untuk “mengamankan” aparat Kepolisian dan Kejaksaan yang terlibat korupsi.

Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang mengundang Kepolisian dan Kejaksaan untuk mengirimkan aparat terbaiknya untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK sudah tepat, dengan pertimbangan pertama bahwa seleksi tersebut terbuka untuk umum dan untuk siapapun,  kedua seleksi bukan dimaksudkan untuk memberikan jatah kepada Kepolisian maupun Kejaksaan melainkan sebagai keterwakilan unsur pemerintah dalam unsur pimpinan KPK sebagaimana diamanatkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Memang dalam penjelasan tersebut tidak secara jelas mengatakan bahwa wakil pemerintah tersebut berasal dari Polri dan Kejaksaan, namun secara logika, unsur pemerintah yang fokus pada pemberantasan korupsi adalah institusi Kejaksaan dan Kepolisian dengan demikian sudah tepat apabila Panitia Seleksi Pimpinan KPK mengundang secara resmi institusi Kejaksaan dan Kepolisian.

Walaupun demikian, Panitia Seleksi tetap harus benar-benar ekstra dalam memilih unsur pimpinan yang berlatar belakang Polisi dan Jaksa, oleh karena peran mereka sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi. Sehingga diperlukan sosok Polisi dan Jaksa yang memiliki pengalaman dan kemampuan teknis yang mumpuni serta dihormati dan disegani dikalangan aparat Kepolisian dan Kejaksaan.

Faktor Polisi dan Jaksa yang disegani dan dihormati dikalangannya tersebut sangat berpengaruh dalam mencapai keberhasilan tugas koordinasi dan supervisi. Faktor tersebut yang tidak dimiliki oleh peserta yang bukan berlatar belakang Polisi dan Jaksa.

Meniadakan calon pimpinan KPK dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan akan menghambat pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi KPK terhadap Kedua institusi tersebut, padahal tugas-tugas tersebut merupakan tugas utama KPK dalam membina dan membimbing kedua institusi tersebut menjadi lebih baik dan bukan menjadi pesaing atau kompetitor. Meniadakan calon pimpinan KPK dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan akan semakin memperuncing hubungan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.

KPK adalah milik rakyat dan tugasnya tidak hanya melakukan penindakan, tugas penindakan hanya sebagai trigger mechanism bagi Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga terwujudlah suatu lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang professional, proporsional, transparan dan berintegritas menurut ukuran masyarakat. (Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM,Doktor Hukum Pidana Universitas Indonesia,,Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pancasila)

                                    

 

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya